Pemberdayaan dan Zakat Profesi

Posted by Unknown Kamis, 26 September 2013 0 komentar
Al-Qur'an dalam surat At-Taubah ayat 60 menerangkan bahwa zakat harus di berikan kepada asnaf delapan, yaitu faqir, miskin, amil, muallaf, memerdekakan budak, orang yang punya hutang, ibnu sabil dan sabilillah). إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana Akan tetapi, perkembangan yang ada di masyarakat sekarang ini memunculkan berbagai macam program pemberdayaan ekonomi umat yang menggunkan dana zakat misalnya untuk memberi pinjaman kepada pedagang kecil, penambahan modal usaha mikro dan lain sebagainya. Hal ini seolah bertentangan dengan ketentuan Surat At-Taubah ayat 60 di atas, padahal tidak demikian. Karena pada dasarnya penggunaan dana zakat untuk pemberdayaan hanyalah merupakan pengembangan sistem distribusi dan perngoranisaian yang lebih efektif. Dalam pandangan fiqih hal ini boleh saja dilakukan asalkan sudah mendapat persetujuan dari mustahik. Sebagaimana diputuskan oleh Bahtsul Masail Diniyyah Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke – 28 di Pondok Pesantren Al-Munawwir , Krapyak, Jogjakarta dengan dasar Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab. وَلاَ يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلإِمَامِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتَّى يُوْصِلَهَا إِلَى أَهْلِهَا لِأَنَّ الْفُقَرَاءَ أَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَالَى عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ التَّصَرُّفُ فِيْ مَالِهِمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ Bagi petugas penarik zakat dan penguasa tidak boleh mengelola harta zakat yang mereka dapat, sehingga menyampaikannya kepada yang berhak. Sebab, para fakir adalah golongan orang-orang cakap yang tidak dikuasai orang lain. Maka tidak boleh mengelola harta mereka tanpa seizinnya. sedangkan tentang zakat profesi, Sebagai pekerja kita wajib mengeluarkan zakat profesi kita kalau sudah mencapai nisab (kadar harta yang mewajibkan berzakat).Jadi, begitu dapat gaji atau penghasilan kita setiap bulan, maka harus langsung zakatnya dikeluarkan. Sedangkan usaha misalnya berdagang kalau sudah setahun dan sudah ada satu nisab dagang dan pegawai adalah 85 gram mas murni, maka wajib mengeluarkan zakatnya 2,5%. Dasar hukum zakat profesi, para ulama berbeda pendapat tentang dasar hukum zakat profesi. Ada yang mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah mal mustafad (pendapatan dari hasil kerja), dan ada pula yang mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah qiyas (dianalogikan) kepada zakat pertanian dan buah-buahan.Tapi pendapat yang pertama adalah lebih tepat karena lebih sesuai dengan realita dengan dalil sebagai berikut:Firman Allah: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang kami keluarkan dari bumi” (QS. Al-Baqarah: 267). Perlu dicatat, bahwa zakat itu tidak boleh diberikan kepada orang kaya (selain amil) dan orang yang kuat dan sehat sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:“Tidaklah shadaqoh (zakat) itu dihalalkan bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang sehat dan kuat” (HR. Lima Imam Hadits dan Imam Turmudzi). Wallahu a’lam bishwab (Sumber: Konsultasi Zakat LAZIZNU dalam Nucare yang diasuh oleh KH. Syaifuddin Amsir / Red. Ulil H)

Baca Selengkapnya ....

MENJADI GURU YANG KREATIF

Posted by Unknown Kamis, 12 September 2013 0 komentar
Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus mempunyai akta mengajar dan sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia. Guru selalu dituntut agar selalu kreatif, banyak ide, prakarsa, inovasi, dan hal-hal baru lainnya. Guru yang tidak kreatif tidak akan menarik bagi para murid-muridnya. Murid hanya menyukai orang kreatif. Bahkan anak-anak dimasukkan ke sekolah, bukan agar mereka berhasil menghafal isi buku yang dikarang oleh seseorang. Tatkala dianjurkan untuk membaca buku, maksudnya adalah agar jiwa kreatifitasnya tumbuh. Kreatifitas seseorang, termasuk guru, agar selalu tumbuh, maka memerlukan ruang, lingkungan, iklim atau suasana yang tepat. Suasana yang penuh dengan aturan, tata tertib, petunjuk, dan sejenisnya itu tidak akan melahirkan kreatifitas. Sebaliknya, hanya akan membunuh kreatifitas guru. Kreatifitas akan lahir manakala ada tantangan, suasan yang menghimpit, dan bahkan adanya persoalan yang seharusnya diselesaikan. Tanpa adanya tantangan, seseorang tidak akan maju dan bersemangat untuk berbuat. Anak-anak yang dimanja oleh orang tuanya, dengan memenuhi semua kebutuhannya, atau apa saja dibantu, maka yang bersangkutan justru tidak akan tumbuh normal. Mereka akan menjadi cengeng. Itulah sebabnya, ada nasehat yang cukup bijak, agar anak tidak dimanjakan. Anak-anak harus diberti tantangan agar semakin cerdas dan kreatif, sekalipun tantangan itu harus disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuannya. Terkait dengan kreatifitas yang kemudian saya kaitkan dengan proses pembelajaran, maka saya seringkali mengagumi para kyai. Pimpinan pondok pesantren pada umumnya tidak pernah belajar tentang cara mengajar. Umpama mereka mengetahui tentang bagaimana mengajar, hanyalah berasal dari pengalaman atau kyainya tatkala mereka belajar. Oleh karena itu, saya yakin, para kyai tidak memiliki pengetahuan ilmiah secara mendalam tentang mengajar. Namun demikian, saya juga yakin, mereka mengetahui hakekat atau filsafat mengajar. Kekaguman saya terhadap prestasi kyai, sebenarnya tolok ukur yang saya gunakan juga amat sederhana. Saya membandingkan antara dua jenis lembaga pendidikan yang berbeda, yaitu sekolah dan pesantren. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan bahasa asing. Sekolah umum mengajarkan Bahasa Inggris, sementara itu, pesantren mengajarkan Bahasa Arab. Para pengajar Bahasa Inggris di sekolah umum dibekali dengan berbagai pengetahuan ilmiah, peralatan yang cukup, lingkungan yang mendukung, dan bahkan gaji atau honorarium yang memadai. Sebaliknya di pesantren, para pengajarkan Bahasa Arab, pada umumnya tidak memiliki pengetahuan ilmiah tentang metodologi pengajaran. Bagi mereka yang penting mengajar agar para santrinya mampu berbehasa Arab baik membaca, menulis, maupun memahaminya. Peralatan mengajar yang digunakan oleh para kyai, tempat, dan apalagi honorarium, seringkali tidak terurus. Akan tetapi pada kenyataannya, sekalipun tidak terlalu lama belajar, para santri sudah bisa bercakap-cakap dan membaca buku teks berbahasa Arab. Sementara itu, manakala berani jujur, tidak semua anak lulusan SMA, dan bahkan S1, S2, atau bahkan S3, berhasil menguasai Bahasa Inggris. Kelemahan itu akan ketahuan, ketika para sarjana mau berangkat belajar ke luar negeri. Mereka secara mendadak harus belajar Bahasa Inggris lagi secara intensif, kursus toefl dan semacamnya. Padahal di setiap jenjang, selalu diberikan pelajaran Bahasa Inggris dan telah dinyatakan lulus. Perbedaan yang mencolok di antara ke dua jenis lembaga pendidikan itu, saya menduga disebabkan oleh karena adanya suasana yang berbeda di antara keduanya. Para kyai memiliki otoiritas, kebebasan dan keleluasaan untuk mengembangkan kreatifitasnya. Berbekalkan suasana itu, para kyai berhasil mengembangkan kreatifitasnya, termasuk kreatifitas dalam mencari teknik mengajar yang tepat. Sementara itu, para guru di sekolah dihadapkan pada berbagai peraturan, tolok ukur, jumlah jam, dan berbagai pedoman, sehingga menjadikan tugasnya ditunaikan atas petunjuk formal itu. Bermacam-macam pedoman atau ketentuan yang diberlakukan kepada guru,disadari atau tidak, sebenarnya justru membunuh kreatifitas mereka. Dengan berbagai petunjuk, para guru menjadi tidak memiliki ruang untuk mengembangkan kreatifitasnya. Orientasi guru akhirnya hanya pada peraturan. Sebab mereka disebut sebagai guru yang baik manakala telah mengikuti peraturan atau pedoman secara tepat, sekalipun hal itu justru menjadikan guru tidak kreatif. Para guru telah mengajarkan Bahasa Inggris sesuai kurikulum dan petunjuk yang diberikan, namun pada kenyataannya, para siswa sekalipun telah dinyatakan lulus belum mampu berbicara dan memahami buku berbahasa Inggris. Cara mengajar bahasa asing di Madrasah, pesantren Bahasa Arab, ternyata berhasil, walaupun dilakukan dengan cara sederhana dan murah. Bahkan di beberapa pesantren tidak saja berhasil mengajarkan Bahasa Arab, tetapi sekaligus juga Bahasa Inggris. Pesantren Gontor Ponorogo dan pesantren moderen lain menerapkan sistem pondok atau asrama, adalah sedikit contoh pesantren yang berhasil membekali santrinya dua bahasa asing sekaligus. Di dua pesantren itu, guru dibekali semangat, niat yang teguh, integritas, dan keikhlasan bekerja. Dengan cara itu, ternyata pendidikan bahasa asing di pesantren ternyata lebih berhasil dibanding para guru di banyak sekolah umum yang dibekali dengan peraturan dan petunjuk teknis. Memperhatikan keberhasilan pendidikan bahasa asing di pesantren dan kemudian membandingkannya dengan di sekolah pada umumnya, maka hati saya selalu bertanya-tanya, mengapa pemerintah tidak berani mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh pesantren. Bukankah pesantren sebenarnya juga milik bangsa Indonesia sendiri. Sesuatu pendekatan di pesantren yang ternyata berhasil, mengapa tidak dikembangkan di lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Selain itu, tatkala berbagai peraturan, pedoman, petunjuk teknis, justru membunuh kreatifitas, maka pertanyaannya, mengapa pemerintah justru membuat dan memberlakukannya kepada semua guru. Bagi pekerja yang hanya menggunakan tenaga fisik memang diperlukan pedoman, petunjuk, atau sejenisnya. Akan tetapi para dosen, guru, seniman, dan sejenisnya, oleh karena jenis pekerjaan itu bukan bersifat fisik, maka kiranya tidak terlalu memerlukannya. Para pekerja itu, asalkan telah memenuhi syarat, baik menyangkut latar belakang pendidikan, pengalaman, catatan keberhasilan dalam menunaikan tugas, dan sejenisnya, maka semestinya diberi peluang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitasnya. Saya ingat sebuah nasehat dari seorang bijak, bahwa hanya orang buta saja yang memerlukan pemandu atau tongkat. Sementara itu, guru bukan seperti orang buta. Oleh karena itu, ketika guru terlalu banyak diberi pedoman, petunjuk, arahan yang bersifat teknis, maka sama halnya dengan mempersamakan mereka dengan orang buta. Berikanlah kepada para guru ruang untuk berkreatifitas seluas-luasnya sebagaimana para ustadz di pesantren yang ternyata mereka lebih berhasil dalam mengajarkan Bahasa Arab kepada para santrinya. Wallahu a’lam. Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI (Staf pengajar MAN 1 Kendari dan pengasuh acara SINAR RRI Kendari)

Baca Selengkapnya ....
Ricky Pratama's Blog support EvaFashionStore.Com - Original design by Bamz | Copyright of MAN 1 KENDARI.