Sekitar 1.000 guru dan kepala sekolah mendapat pelatihan tentang
pendidikan berbasis kepemimpinan pada Sabtu, 5 April 2014. Mereka
mengikuti seminar tentang metode mengajar yang menitikberatkan pada
pengembangan kepribadian anak yang diselenggarakan Yayasan Tunas Mulia
Adi Perkasa.
Para peserta seminar bertajuk “Creating Leadership Culture” itu
mendapat tamu istimewa, yaitu Muriel Summers, Kepala Sekolah Dasar A.B
Comb, North Carolina. Dia mendapat predikat kepala sekolah terbaik
karena berhasil memimpin sekolah yang hampir ditutup itu menjadi sekolah
unggulan.
Summers mengatakan, keberhasilan itu diraih setelah sekolahnya
menerapkan metode pengajaran yang berbeda. Ketimbang berfokus
meningkatkan nilai anak, para guru menanamkan tanggung jawab dan manfaat
belajar kepada siswa. “Hasilnya anak belajar lebih gembira dan nilai
mereka ikut meningkat,” katanya.
Kunci keberhasilan metode ini adalah pendekatan guru kepada siswa.
Guru, kata dia, tak boleh menghakimi siswa. Summers kemudian berbagi
pengalaman mengajar seorang anak bernama Jason Stines yang dicap sebagai
siswa bermasalah. Siswa itu masuk ke SD A.B Comb ketika menginjak kelas
5.
Dari awal datang, penampilan Jason sudah terlihat urakan dengan
celana hipster dan rambut yang acak-acakan. “Dia mengucapkan kata-kata
yang tak pantas dan kasar, tapi kemudian saya bilang di sekolah ini kita
tidak bicara kasar,” kata Summers. “Anak ini sudah tujuh kali pindah
sekolah.”
Sebulan pertama, Jason memang masih sering membuat onar, tetapi
sekolah sudah meminta agar siswa lain membantu Jason. Beberapa bulan
kemudian, Jason mulai memiliki teman. “Nilainya yang dulu hanya terdiri
dari D dan F juga meningkat menjadi B,” katanya.
Bertahun-tahun kemudian, Jason lulus dari sekolah menengah atas
dengan nilai yang bagus. Dia bahkan mendapat beasiswa penuh ke
Universitas South Carolina karena berprestasi di bidang olahraga. “Hal
yang paling membanggakan bagi sekolah kami bukanlah penghargaan, tapi
keberhasilan kami mengarahkan anak-anak seperti Jason,” kata Summers.
Hal lain yang tak kalah penting adalah menanamkan manfaat belajar
kepada anak. Summers menyarankan agar guru menggunakan cita-cita mereka
untuk mengajak anak belajar. “Misalnya, anak harus belajar matematika
jika ingin menjadi insinyur, dokter, presiden, atau menteri. Soalnya
semua membutuhkan kemampuan berlogika,” kata Summers. “Dengan begitu
anak bukan hanya mengejar nilai akademis tanpa tahu apa manfaatnya.”
Satu peserta seminar, Asnaleli dari SDN Tanjung Barat 07, mengaku
terkesan dengan metode mengajar itu. Dia mengakui, selama ini guru amat
terbebani dengan target prestasi akademik anak, terutama di sekolah
negeri. “Kalau mau meningkatkan mutu pendidikan memang harus dari hal
yang paling dasar seperti ini,” katanya. (Baca juga: 5 SD DKI Jadi Pilot
Project Pendidikan Pemimpin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar