DALAM kitab Suci al-Qur'an, Nabi Ibrahim pernah berdo'a:
"Ya Tuhan, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang akan termasuk orang-orang yang saleh."
Maka Allah menyampaikan kabar gembira dengan seorang anak yang santun
yang diberi nama Ismail. Dan ketika Ismail telah mencapai usia untuk
bekerja bersamanya, Ibrahim meminta pendapat kepada puteranya:
"Wahai anakku, sesungguhnya aku telah melihat dalam tidurku bahwa aku
mengorbankan engkau. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?"
Ismail menjawab:
"Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu itu,
dan engkau akan mendapati diriku, insya Allah termasuk mereka yang
tabah."
Maka, ketika mereka berdua, Ibrahim dan Ismail, itu telah pasrah, dan
tatkala Ibrahim merebahkan Ismail pada wajahnya (untuk dikorbankan),
Allah berseru kepada Ibrahim:
"Wahai Ibrahim, engkau sungguh telah membenarkan mimpimu!"
Begitulah rekaman dalam Kitab Allah (Q. al-Shaffat/37: 102-111) tentang
kisah dua insan, ayah anak yang amat mengaharukan; tentang dua hamba-Nya
yang saleh, dua orang Rasul yang kelak menjadi contoh bagi umat manusia
tentang bagaimana mentaati perintah Allah. Dalam Firman itu Ibrahim dan
Ismail menemukan Tuhan dalam perintahnya untuk berkurban. Mereka
mencari ridla dalam semangat berkurban, dan dalam ayat itu pula tercatat
dengan jelas bahwa Ibrahim telah melaksanakan korban, dan Ismail, sang
anak yang menjadi korban, telah memperlihatkan dengan sebaik-baiknya
bahwa mereka memiliki semangat berkorban yang tinggi.
Marilah kita renungi lebih mendalam, apakah arti korban itu? Mengapa
kita dituntut untuk memiliki semangat berkorban yang setinggi-tingginya?
Mengapa kita diperintahkan untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan puteranya,
Ismail, dan mempelajari semangat pengorbanan mereka?
"Qurban" adalah kata-kata Arab, yang artinya ialah "pendekatan," yaitu
pendekatan kepada Tuhan. Maka, melakukan qurban adalah melakukan sesuatu
yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan, yakni mendekatkan diri kita
kepada tujuan hidup kita. Sebab, kita memang "berasal dari Allah, dan
kembali kepada-Nya."
Oleh karena itu, dalam praktik, dalam bentuknya yang nyata, tindakan
berkorban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan, yang
menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat,
kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan
selama-lamanya. Maka Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai
seorang anak kesayangan, yaitu Ismail, dan dia tidak ingin lupa akan
tujuan hidupnya yang hakiki, yaitu Allah Swt.
Maka Ibrahim pun bersedia mengorbankan anaknya, lambang kesenangan dan
kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yaitu kesenangan duniawi. Sebab
Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridla dan
perkenan Allah Swt. Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak
hidup senang di dunia ini, tapi kemudian melupakan hidup yang lebih
abadi di Akhirat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang
toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikorbankan
oleh ayahnya.
Oleh karena itu, makna berkorban ialah bahwa dalam hidup, kita melihat
jauh ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang
kita alami; bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang
berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab, kita tahu dan yakin bahwa
di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan
jerih payah kita.
Makna berkorban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan
sesaat, demi mencapai kebahagiaan lebih besar dan kekal. Kita bersedia
bersusah payah, karena hanya dengan susah payah dan kesungguhan itu,
suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana.
Allah berfirman, "Sesunggunya beserta setiap kesulitan itu akan ada
kemudahan; (sekali lagi), sesunggunya beserta setiap kesulitan itu akan
ada kemudahan. Maka, bila engkau telah bebas (dari suatu beban),
tetaplah engkau bekerja keras, dan berusahalah mendekat terus kepada
Tuhanmu" Al-Insyirah/94: 5-8.
Semangat berkorban adalah cermin takwa kepada Allah. Sebab takwa itu
jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan, akan membuat kita
mampu melihat jauh ke depan; mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan
saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan
penuh harapan. Marilah kita renungkan firman Allah dalam kitab suci
al-Quran mengenai hal ini:
"Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada
Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat
untuk hari esok! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah. Sesungguhnya
Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.
Q al-Hasyr/ 59:18.
Firman itu mengandung perintah Ilahi untuk bertakwa. Dan dalam perintah
takwa itu sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan
masa depan. Maka kuranglah takwa seseorang jika ia kurang mampu melihat
masa depan hidupnya yang jauh, jika ia hidup hanya untuk di sini dan
kini, di tempat ini dan sekarang ini. Atau, dalam ukurannya yang besar,
di dunia ini dan dalam hidup ini saja! Tetapi justru inilah yang sulit
kita sadari. Sebab manusia mempunyai kelemahan berpandangan pendek,
tidak jauh ke depan.
"Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan
melalaikan di belakang mereka masa yang berat." Al-insan/ 76: 27.
Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tabah
memikul beban. Dan, selanjutnya, tidak tahan melakukan jerih payah
sementara, karena mengira bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan
menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan! Padahal, justru di balik
jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan
sukses. Justru di balik pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup
karunia Tuhan yang amat berharga ini.
Apa sebenarnya yang membuat orang enggan berkorban dan berjerih payah,
serta tidak bersedia menempuh kesulitan sementara, menunda kesenangan
sesaat? Memang, biasanya orang ingin hidup egois, hidup untuk diri
sendiri dan kesenangan sendiri. Akibatnya, ketika ia menerima kesulitan,
kesusahan, percobaan dan persoalan, ia mengira bahwa hanya ia
sendirilah yang sedang dirundung kemalangan itu.
Lalu ia pun mengeluh dalam hati, memprotes dalam batin, mengapa ia
dibuat sengsara, ditimpa berbagai persoalan? Mengapa ia dirundung
kesulitan? Mengapa? Dan mengapa? Padahal tidaklah demikian keadaan dan
hakikat hidup yang sebenarnya. Kesulitan adalah bagian dari hidup.
Justru jika diterima dengan sabar dan tabah, kesulitan akan menjadi
'bumbu' hidup.
Dan di kala kita sedang menderita atau kurang mujur, kita harus tahu
serta sadar, bahwa sebenarnya tidak hanya kita saja yang mengalami
kesulitan, menerima kesusahan, dan ditimpa penderitaan. Tentang ini,
Allah memperingatkan kita:
"... Jika kamu merasakan penderitaan, maka sesungguhnya mereka
(orang-orang lain) pun menderita seperti kamu; namun kamu mengharap dari
Allah sesuatu yang mereka (orang-orang lain itu) tidak mengaharap ..."
al-Nisa/4: 104.
Jadi memang, kita dan mereka --kita orang-orang yang percaya kepada
Allah, yang beriman, dan mereka yang tidak percaya, yang kafir-- adalah
sama-sama menderita. Tetapi, justru dalam penderitaan itu kita berbeda
dengan mereka. Sebab dalam penderitaan itu, kita tetap berpengharapan
dan optimis kepada Tuhan.
Maka sungguh pantang bagi orang yang beriman kepada Allah, jika sedang
menderita, lalu "ngenes," meratapi nasib dan menyesali perjalan hidup
itu, kemudian kehilangan gairah kepada hidup itu sendiri. Sebab tidak
seorang pun di antara manusia ini yang pernah benar-benar lepas dari
pengalaman yang pahit. Justru kita harus menerima penderitaan itu dan
sabar menanggungnya. Kemudian jadikan cambuk, malah modal, untuk
berjuang, berusaha sungguh-sungguh dan ber-mujahadah dengan menanamkan
semangat berkorban.
Semangat berkorban itulah yang akan melepaskan diri kita dari kungkungan
penderitaan. Dan Allah tidak menyia-nyiakan atau membiarkan kita
sendirian. Sebab di balik setiap penderitaan itu, seperti janji Allah
sendiri, terdapat kenikmatan dan kebahagiaan. Tidak ada seruas dari
perjalanan hidup kita yang berlalu dengan percuma. Kita hendaknya selalu
mengingat gugatan Allah dalam Kitab Suci:
"Apakah kamu menyangka kamu bakal masuk surga, padahal belum disaksikan
oleh Allah siapa di antara kamu yang berjuang, bersusah payah, menempuh
kesulitan, dan (belum disaksikan pula) siapa yang sabar, tabah, dan
tahan menderita?" Q. Alu-Imran/ 3:142
Berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras adalah hakikat hidup
yang bermakna. Sementara itu pengorbanan adalah tuntutan perjuangan yang
tak terelakkan. Keduanya harus diiringi dengan sikap lapang dada,
sabar, dan tahan menderita. Hanya pandangan serupa itulah yang akan
memberi kenikmatan hakiki dan kebahagaiaan sejati.
Itulah semangat pengorbanan Ibrahim yang pasrah hendak mengorbankan
anaknya, Ismail. Dan itulah pula semangat Ismail, yang pasrah
menyerahkan dirinya untuk dikorbankan. Kedua insan, ayah dan anak itu
menjadi contoh bagi kita semua, umat manusia, tentang bagaimana
ketulusan berkorban, serta melawan godaan hidup senang sesaat, karena
hendak mencapai hidup bahagia abadi. Itulah ruh yang terkandung dalam
ajaran berkorban. Dengan semangat pengorbanan yang tinggi kita
mendekatkan diri kepada Allah, dan dengan ridha Allah kita akan
mendapatkan kebahagiaan abadi dan sejati. Amin ya Robbal alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar