MENYONTEK ITU SEPERTI KORUPSI
Rabu, 18 Desember 2013
0
komentar
Pada tanggal 9 Desember 2013,para siswa
melaksanakan ujian semester ganjil, mulai dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA
bersamaan diperingati hari anti korupsi di seluruh dunia. Penetapan dan
peringatan sebagai hari anti korupsi ini kiranya bermaksud mulia. Yaitu untuk
mengingatkan siapapaun di seluruh dunia akan besarnya bahaya yang
diakibatkan oleh tindak kejahatan korupsi itu sendiri. Korupsi
mengakibatkan kemiskinan, kesengsaraan, kemunduran, kekacauan, dan
bahkan runtuhnya sebuah tatanan birokrasi yang seharusnya dipelihara dan
dikembangkan.
Sekalipun bahaya korupsi itu sudah
diketahui sedemikian besar bagi kehidupan bersama, namun lejahatan itu tetap
saja dilakukan oleh kalangan luas. Mereka yang berkesempatan dan memiliki niat
jahat, maka mereka melakukannya. Para pelakunya tidak terbatas pada
latar belakang pendidikan, jabatan, dan juga instansi tertentu, melainkan
merata di semua bidang. Bahkan pihak-pihak yang semestinya bertugas memberantas
korupsi pun juga ada saja yang terlibat melakukannya. Oknum polisi,
jaksa, hakim, politisi, kepala sekolah, pimpinan daerah, Perbankan, BUMN,
dan bahkan menteri pun, tidak terbebas dari perilaku menyimpang
ini. Korupsi bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja.
Perilaku menyimpang Sebagaimana
digambarkan tersebut, sebenarnya telah dilakukan sejak usia dini, yaitu
oleh anak-anak ketika masih sedang belajar di sekolah.
Di tempat belajar atau pendidikan, sejak kecil, anak-anak sudah
mengenal dan berperilaku menyimpang, misalnya menyontek. Prilaku
itu sama atau mirip dengan berbuat bohong atau korupsi. Bersekolah
yang semestinya berlatih jujur, tetapi ternyata sebaliknya, tanpa
disengaja justru mendapatkan latihan berbuat tidak jujur atau curang.
Menghilangkan tradisi menyontek ternyata
juga tidak mudah. Para guru tidak pernah memberikan
pelajaran tentang ketrampilan itu, Namun, tanpa diajari, ternyata
anak-anak sejak diri sudah bisa melakukannya sendiri. Semakin bertambah
umur, kemampuan anak-anak menyontek juga semakin canggih. Itulah sebabnya,
tatkala dilangsungkan ujian akhir atau ujian nasional, kementerian pendidikan
dan kebudayaan hingga meminta tenaga pengawas dari perguruan tinggi. Aneh
sekali, perguruan tinggi tidak dimintai hasil penelitiannya,
melainkan sekedar tenaganya untuk mengawasi ujian.
Kenyataan bahwa anak-anak tanpa diajari
pun bisa menyontek, maka semestinya pengalaman itu
bisa dijadikan pelajaran, bahwa anak memiliki potensi untuk belajar
sendiri. Guru atau orang dewasa selalu berpandangan bahwa apa saja harus
diajarkan. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Anak-anak dalam hal-hal
tertentu bisa belajar secara mandiri. Sesuatu yang menjadi keinginan seseorang,
tidak terkecuali oleh anak-anak, akan diusahakan untuk diraihnya,
dengan cara apapun.
Ketika anak-anak ingin lulus dan atau
mendapatkan nilai unggul, sepanjang bisa dilakukan, mereka akan nyontek. Mereka
juga sudah tahu, bahwa berbuat jujur adalah lebih baik, ksatria, dan
terpuji. Akan tetapi pandangan itu, oleh sementara anak-anak
diabaikan dan lebih memilih jalan menerabas, yaitu menyontek itu.
Perilaku menyimpang dianggap lebih menyenangkan dan merupakan prestasi
tersendiri. Dengan begitu, mereka merasa berhasil mengelabuhi gurunya.
Pendidikan kejujuran yang diberikan oleh guru justru dikhianati oleh murid-muridnya
sendiri.
Kebiasaan menyimpang di sekolah seperti
itu, tatkala mereka dewasa akan menjadi kebiasaan atau bahkan budaya.
Tatkala masih di sekolah, mereka menyontek, maka
setelah menjadi dewasa, dan mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai
atau pejabat, akan melakukan korupsi. Oleh karena itu, bisa
jadi, kebiasaan menyimpang di sekolah adalah menjadi bibit perilaku
korup tatkala mereka sudah dewasa dan bekerja. Korupsi dianggap sebagai
sesuatu yang wajar oleh karena sudah menjadi kebiasaan sejak usia sekolah
dengan cara menyontek itu.
Disbutkan bahwa bibit korupsi tumbuh sejak
di sekolah, juga tampak dari ketika mereka memilih jenis sekolah.
Pemilihan jenis sekolah bukan semata-mata atas dasar bakat dan minat yang
bersangkutan, tetapi sengaja dicarikan lembaga pendidikan yang lulusannya
bisa bekerja di tempat-tempat basah. Lapangan pekerjaan di bidang keuangan,
perpajakan, kejaksaan, dan pekerjaan semacam itu lebih dipilih daripada sekolah
yang hanya bisa bekerja sebagai guru, atau sejenisnya. Orang tidak
bangga manakala anaknya hanya bekerja di tempat kering yang dianggap kurang
menjanjikan. Tempat kering biasa dikonotasikan sulit melakukan penyimpangan.
Oleh karena itu niat berkorupsi sebenarnya sudah ditanamkan sejak anak-anak
berusia dini.
Atas dasar pandangan itu, memberantas
korupsi harus dimulai sejak dini, yaitu sejak anak-anak belajar di
sekolah. Untuk menghindar dari tumbuhnya mental korup, perlu
dicarikan pendekatan evaluasi belajar, atau ujian agar tidak
melahirkan bibit-bibit korup itu. Ujian bersama yang memungkinkan para siswa
bisa menyontek harus dihindari. Sementara itu, soal ujian berbentuk
pilihan ganda sangat rentan melahirkan perilaku menyontek. Oleh karena
itu, jenis soal ujian dimaksud seharusnya dihindari. Ujian nasional
dengan melibatkan tenaga pengawas dari perguruan tinggi, atau juga
polisi tidak akan mampu mencegah penyimpangan. Apalagi, penyimpangan yang
dimaksudkan adalah untuk mengejar target kelulusan. Maka, apa saja
yang menjadikan peserta didik bermental menyimpang harus dihindari.
Dengan demikian rasanya beda antara
menyontek dan korupsi sangat tipis. Korupsi hanya kelanjutan dari perilaku
menyontek yang ditumbuh-kembangkan sejak usia anak-anak, tatkala mereka belajar
di sekolah. Oleh karena itu, mengurangi perilaku korup seharusnya dimulai sejak
dini, yaitu sejak mereka berada di lingkungan sekolah. Guru dan juga ahli
pendidikan harus mampu menciptakan suasana belajar dan evaluasi, atau ujian
yang sekiranya tidak bisa dicontek. Melarang menyontek dengan cara
mengawasi ujian secara ketat sama halnya dengan memberantas kurupsi hanya
dengan memenjarakan para koruptor. Nyontek dan korupsi ternyata pada esensinya
mirip, dan rupanya bentuk penyimpangan itu merupakan perilaku
berkenajutan. Konsep pendidikan sekarang ini rupanya harus ditinjau kembali
agar tidak melahirkan perilaku korup. Wallahu a’lam.
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI(ketua lembaga Rijalul ansor Sultra Staf
Pengajar IIQ janatu Adnin Kendari)
Baca Selengkapnya ....