MOS = Kekerasan di Sekolah

Posted by Unknown Jumat, 03 Agustus 2012 1 komentar
Memotong Rantai Kekerasan
Oleh M. Ghufran H. Kordi K.

Kekerasan Fisik dan psikis merupakan masalah serius di negeri ini. Penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah merata disemua ruang publik. Kekerasan tidak hanya menjadi domain orang-orang yang tidak berpendidikan, masyarakat kelas bawah, dan kelompok marginal sebagaimana yang umum dituduhkan oleh akademisi dan penguasa.
Tetapi juga merupakan cara umum orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan penting di berbagai institusi menyelesaikan masalah. Mereka yang terakhir ini juga umumnya menggunakan otot ketimbang otak.

Tawuran dan perkelahian mahasiswa telah menjadi suatu yang biasa saja, dan menjadi ikon di setiap ibukota. Sidang-sidang di parlemen mirip hewan berebut makanan sudah menjadi suatu yang umum di negeri ini. Parlemen “yang terhormat” itu kadang tidak bisa berdialog sehingga mereka saling memaki dan adu jotos.

MOS SAMA DENGAN KEKERASAN DI SEKOLAH...!!??
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUxd9jz9b-60mK0aHdGcpeJutUX3driKF3KRwM2c6e7I_6R5hz5zBnTJydGtFPwjfbYIe7p4TXpCRtgTfoLN3Azaudc6lJ5gGBPXrZXOQSdR_tPNeZDsF_82pmmJeUCAVnnrX3KPqfY5Y/s1600/0607+PHI+MOS.JPGPenggunaan kekerasan meluas kemana-mana, termasuk dunia anak yang sebelumnya dikenal dunia gembira dan bermain. Anak-anak ini tentu belajar dari lingkungannya. Kekerasan di sekolah dilihat dengan jelas pada setiap penerimaan siswa baru di SMP dan SMA. Kegiatan Masa Orientasi Sekolah ( MOS ) menjadi ajang kekerasan terhadap siswa baru oleh siswa senior.
MOS menjadi tindakan penindasan dan perpeloncoan terhadap siswa baru. Siswa senior menindas dengan sengaja terhadap siswa baru yang tujuannya menyakiti korban, baik secara fisik atau psikis, atau keduanya. Penindasan biasanya bertindak sendirian atau kelompok dan memilih siswa baru yang dianggap rentan jadi korban. Korban menarik perhatian penindas karena usia muda, postur kecil, atau status sosial rendah.

http://www.manadopost.co.id/uploads/berita/dir16072010/img16072010701371.jpg
Sumber Gambar : manadopost.co.id
Ada dua tujuan yang hendak dicapai penindas. Pertama, ingin menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dan menandaskan status sebagai “jagoan”. Kedua, menginginkan sesuatu, bisa berupa uang, bekal makan siang, jawaban PR atau perhatian. Karena itu ketika MOS, banyak orang tua mengeluh anaknya disuruh seniornya membeli ini dan itu, yang harganya mahal atau susah di dapat.
Sebaliknya perpeloncoan melibatkan banyak orang, sebagian pemelonco, sebagian menyaksikan, dan sebagian lagi diplonco. Yang diplonco adalah kelompok tertentu, misalnya anggota baru dalam organisasi sekolah atau kegiatan lain dengan dalih latihan kepemimpinan siswa. Pemelonco (senioar) bertindak atas nama suatu kelompok dan biasanya melanjutkan tradisi nenek moyang meraka(senior mereka) dan melestarikan hierarki.

Dari tahun ketahun, MOS di SMP dan SMA menjadi arena penindasan siswa baru. Pelaksanaan MOS telah dikeluhkan orang tua dan siswa baru. Tujuan MOS memperkenalkan lingkungan belajar dan lingkunga sosial baru mengalami prubahan orientasi yang lama kelamaan menjadi regenerasi kekerasan atau bulying.
Saat ini kekerasan oleh siswa SMP dan SMA secara kuantitatif dan kualitas tidak berbeda dengan senior mereka di Perguruan Tinggi. Tawuran  siswa SMP dan SMA merupakan penggunaan kekerasan siswa untuk menyelesaikan masalah. Peningkatan kekerasan oleh siswa SMP dan SMA dalam bentuk tawuran linear dengan kekerasan yang terjadi, di sekolah sewaktu kegiatan MOS.
Sekalipun tidak ada data mengenai kekerasan sewaktu MOS, berbagai keluhan dan laporan orang tua yang dimuat dan diberitakan media masa cukup memberi gambaran bahwa kekerasan terhadap siswa baru sewaktu MOS terus meningkat.

Hentikan kekerasan terhadap anak
Kekerasan yang dilakukan oleh anak   terhadap anak lain adalah praktek kekerasan yang selalu berulang. Praktek kekerasan anak-anak itu tidak muncul sendiri melainkan melalui proses yang lama. Dalam perspektif  hak dan perlindingan anak, anak tidak hanya bergantung pada lingkungannya, tetapi juga belajar mengenai apa saja yang dilihat dan dialaminya.
Ketika seorang anak melakukan kekerasan terhadap anak lain, maka sebagai pelaku kekerasan, anak harus di pandang dan ditempatkan sebagai korban,baik korban dari keluarga ataupun sistem sosial. Anak-anak yang melakukan kekerasan biasanya mendapat kekerasan dari rumah yang dilakukan oleh keluarganya. Anak yang tidak mendapat perhatian dari keluarganya juga cenderung menjadi pelaku kekerasan.

Studi di Univ. Atmajaya Jakarta (2006) menyebutkan kekerasan terhadap anak terjadi diberbagai tempat. Pelaku kekerasan umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan korban. Rumah dan sekolah merupakan dua tempat yang tidak kondusif  bagi perkembangan anak karena di kedua tempat ini kekerasan dipraktikkan dan disosialisasikan.
Kenyataannya, orang–orang jahat dan tidak tahu malu di negeri ini adalah orang-orang yang tamatan sekolah. Pelaku kekerasan dan orang-orang yang tidak tahu malu seperti koruptor adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Sejakk dini mereka telah hidup dalam kekerasan dan kemunafikan.
Di rumah dan di sekolah mereka adalah korban kekerasan dari keluarga, senior, dan guru. Mereka dididik untuk menjadi hipokrit. Pelajaran-pelajaran yang setiap hari mereka terima adalah pelajaran tentang kebaikan, tetapi dalam praktik yang mereka lihat adalah kemunafikan.

Kekerasan yang diproduksi dan disosialisasikan akan terus berkembang, berpindah, dan berputar membentuk apa yang oleh Dom Helder Camare disebut sebagai “spiral kekerasan”. Ketika telah menjadi spiral, maka kekerasan sangat sulit diputus karena begitu banyak orang terlibat memproduksi dan mensosialisasikannya.
Cara efektif dalam memutus atau memotong kekerasan yang telah menjadi spiral adalah memulai dari dunia anak. Kekerasan terhadap anak harus dihentikan sehingga anak-anak  yang tumbuh menjadi anak-anak yang anti kekerasan. Anak-anak yang tumbuh pada lingkungan tanpa kekerasan akan mensosialisasikan anti kekerasan. Dengan begitu rantai kekerasan dapat dipotong.
(Sumber : Harian Kendari Pos)

Asal Mula MOS (Masa Orientasi Siswa). ?
Sebenarnya, jika ditelusuri. Sejarah MOS, Ospek ini jika ditelusuri sebenarnya sudah sejak Jaman Kolonial, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Pada masa itu, mereka yang baru masuk harus menjadi “anak buah” si kakak kelas itu seperti membersihkan ruangan senior. Dan hal itu berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942) (STOVIA dan GHS sekarang menjadi FKUI Salemba), pada masa GHS ini kegiatan itu menjadi lebih formal meskipun masih bersifat sukarela. Istilah yang digunakan pada saat itu adalah ontgroening atau “membuat tidak hijau lagi”, jadi proses ini dimaksudkan untuk mendewasakan si anak baru itu.
Ketika sudah merdeka pun, proses ini masih dilanjutkan bahkan sampai sekarang. Setelah era 50-an, kegiatan ini dibuat lebih “wajib”. Bahkan malah terkesan semakin tidak mendidik dan hanya menjadi ajang kepuasan si kakak kelas. Yang biasanya menjadi bagian “pemlonco” seringkali orang2 yang kurang kerjaan, jadi semakin membuat kesan tidak mendidik. Bentuk “perkenalannya” pun lebih ke bentuk yang kurang mendidik dan hanya untuk lucu-lucuan seperti si anak baru harus menggunakan aksesoris yang terlihat “lucu”, menggunduli rambut, memakai dandanan yang aneh2, dsb. Dan kegiatannya pun biasanya seenak jidat si senior, seperti membawa barang2 aneh, dll. Dan penuh kegiatan fisik pastinya.


MOS Sekolah MenengahDan anehnya, walaupun banyak ditentang semenjak era 60-an. Kegiatan seperti ini seakan tidak ada matinya, malah dalam perkembangannya kegiatan seperti ini malah ditiru oleh SMP dan SMA. Dengan dalih “adaptasi dan peralihan masa”, kegiatan inipun dicontoh oleh satuan pendidikan dibawahnya. Walau tidak sesadis di Universitas, tetap saja terkesan tidak mendidik dan kurang bermanfaat, khususnya pada MOS di sekolah negeri.
(sumber : Kompasiana.com)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MOS = Kekerasan di Sekolah
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://mansatukendari.blogspot.com/2012/08/mos-kekerasan-di-sekolah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Comments
1 Comments

1 komentar:

kekerasan di sekolah mengatakan...

Sudah menjadi tradisi ya kekerasan disekolah seperti ini

Posting Komentar

Ricky Pratama's Blog support EvaFashionStore.Com - Original design by Bamz | Copyright of MAN 1 KENDARI.