MENYONTEK ITU SEPERTI KORUPSI

Posted by Unknown Rabu, 18 Desember 2013 0 komentar
Pada tanggal 9 Desember 2013,para siswa melaksanakan ujian semester ganjil, mulai dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA bersamaan diperingati hari anti korupsi di seluruh dunia. Penetapan dan peringatan sebagai hari anti korupsi ini kiranya bermaksud mulia. Yaitu untuk mengingatkan  siapapaun  di seluruh dunia akan besarnya bahaya yang diakibatkan oleh tindak kejahatan korupsi itu sendiri. Korupsi mengakibatkan  kemiskinan, kesengsaraan, kemunduran, kekacauan,  dan bahkan  runtuhnya sebuah tatanan birokrasi yang seharusnya dipelihara dan dikembangkan.  
 
Sekalipun  bahaya korupsi itu sudah diketahui sedemikian besar bagi kehidupan bersama, namun lejahatan itu tetap saja dilakukan oleh kalangan luas. Mereka yang berkesempatan dan memiliki niat jahat,  maka mereka melakukannya. Para pelakunya  tidak terbatas pada latar belakang pendidikan, jabatan, dan juga instansi tertentu, melainkan merata di semua bidang. Bahkan pihak-pihak yang semestinya bertugas memberantas korupsi pun  juga  ada saja yang terlibat melakukannya. Oknum polisi, jaksa, hakim, politisi, kepala sekolah, pimpinan daerah,  Perbankan, BUMN, dan bahkan  menteri pun,  tidak terbebas dari perilaku menyimpang ini.  Korupsi bisa dilakukan di mana saja dan  oleh siapa saja.
 
Perilaku menyimpang Sebagaimana digambarkan tersebut, sebenarnya telah  dilakukan sejak usia dini, yaitu oleh  anak-anak ketika  masih sedang belajar di sekolah.   Di tempat belajar atau pendidikan,  sejak kecil,  anak-anak sudah mengenal dan  berperilaku menyimpang, misalnya menyontek. Prilaku itu  sama atau mirip  dengan berbuat bohong atau korupsi. Bersekolah yang semestinya berlatih jujur, tetapi ternyata sebaliknya,  tanpa disengaja justru mendapatkan latihan berbuat tidak jujur atau curang.
 
Menghilangkan tradisi menyontek ternyata juga tidak mudah. Para guru tidak   pernah  memberikan  pelajaran tentang ketrampilan itu, Namun,  tanpa diajari,  ternyata anak-anak sejak diri sudah bisa melakukannya sendiri. Semakin bertambah umur,  kemampuan anak-anak menyontek juga semakin canggih. Itulah sebabnya, tatkala dilangsungkan ujian akhir atau ujian nasional, kementerian pendidikan dan kebudayaan hingga meminta tenaga pengawas dari perguruan tinggi. Aneh sekali, perguruan  tinggi tidak dimintai hasil penelitiannya,  melainkan sekedar tenaganya untuk mengawasi ujian.   
 
Kenyataan bahwa anak-anak tanpa diajari pun  bisa  menyontek, maka   semestinya pengalaman itu  bisa dijadikan pelajaran, bahwa anak memiliki potensi untuk belajar sendiri. Guru atau orang dewasa selalu berpandangan bahwa apa saja harus diajarkan. Pada kenyataannya tidaklah  demikian. Anak-anak dalam hal-hal tertentu bisa belajar secara mandiri. Sesuatu yang menjadi keinginan seseorang, tidak terkecuali oleh  anak-anak, akan diusahakan untuk  diraihnya, dengan cara apapun. 
 
Ketika anak-anak ingin lulus dan atau  mendapatkan nilai unggul, sepanjang bisa dilakukan, mereka akan nyontek. Mereka juga sudah tahu,  bahwa berbuat jujur adalah lebih baik, ksatria, dan terpuji. Akan tetapi  pandangan itu, oleh sementara anak-anak  diabaikan dan lebih memilih jalan menerabas, yaitu  menyontek itu. Perilaku menyimpang dianggap lebih menyenangkan dan merupakan prestasi tersendiri. Dengan begitu,  mereka merasa berhasil mengelabuhi gurunya. Pendidikan kejujuran yang diberikan oleh guru justru dikhianati oleh murid-muridnya sendiri.
 
Kebiasaan menyimpang di sekolah seperti itu, tatkala mereka dewasa akan menjadi kebiasaan atau  bahkan budaya.  Tatkala masih di sekolah,  mereka menyontek, maka  setelah   menjadi dewasa, dan mendapatkan pekerjaan sebagai  pegawai atau pejabat,  akan melakukan korupsi. Oleh karena itu,  bisa jadi,  kebiasaan menyimpang di sekolah adalah  menjadi bibit perilaku korup tatkala mereka sudah dewasa dan bekerja.  Korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh karena sudah menjadi kebiasaan sejak usia sekolah dengan cara menyontek itu.
 
Disbutkan bahwa bibit korupsi tumbuh sejak di sekolah,  juga tampak dari ketika  mereka memilih jenis sekolah. Pemilihan  jenis sekolah bukan semata-mata atas dasar bakat dan minat yang bersangkutan, tetapi sengaja  dicarikan lembaga pendidikan yang lulusannya bisa bekerja di tempat-tempat basah. Lapangan pekerjaan di bidang keuangan, perpajakan, kejaksaan, dan pekerjaan semacam itu lebih dipilih daripada sekolah yang  hanya  bisa bekerja sebagai guru, atau sejenisnya. Orang tidak bangga manakala anaknya hanya bekerja di tempat kering yang dianggap kurang menjanjikan. Tempat kering biasa dikonotasikan sulit melakukan penyimpangan. Oleh karena itu niat berkorupsi sebenarnya sudah ditanamkan sejak anak-anak berusia dini.
 
Atas dasar pandangan itu, memberantas korupsi harus dimulai sejak dini, yaitu sejak anak-anak belajar di sekolah.  Untuk menghindar dari tumbuhnya mental korup,  perlu dicarikan pendekatan evaluasi belajar,  atau  ujian  agar tidak melahirkan bibit-bibit korup itu. Ujian bersama yang memungkinkan para siswa bisa menyontek harus dihindari. Sementara itu, soal ujian  berbentuk pilihan ganda sangat rentan melahirkan perilaku  menyontek. Oleh karena itu, jenis soal ujian dimaksud seharusnya  dihindari. Ujian nasional dengan melibatkan tenaga pengawas  dari perguruan tinggi, atau juga  polisi tidak akan mampu mencegah penyimpangan. Apalagi, penyimpangan yang dimaksudkan adalah  untuk mengejar target kelulusan. Maka,  apa saja yang menjadikan peserta didik bermental menyimpang harus dihindari.
 
Dengan demikian rasanya beda antara menyontek dan korupsi sangat tipis. Korupsi hanya kelanjutan dari perilaku menyontek yang ditumbuh-kembangkan sejak usia anak-anak, tatkala mereka belajar di sekolah. Oleh karena itu, mengurangi perilaku korup seharusnya dimulai sejak dini, yaitu sejak mereka berada di lingkungan sekolah. Guru dan juga ahli pendidikan harus mampu menciptakan suasana belajar dan evaluasi, atau ujian yang sekiranya tidak bisa dicontek. Melarang menyontek  dengan cara mengawasi ujian secara ketat sama halnya dengan memberantas kurupsi hanya dengan memenjarakan para koruptor. Nyontek dan korupsi ternyata pada esensinya mirip, dan rupanya  bentuk penyimpangan itu  merupakan perilaku  berkenajutan. Konsep pendidikan sekarang ini rupanya harus ditinjau kembali agar tidak melahirkan perilaku korup. Wallahu a’lam.
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI(ketua lembaga Rijalul ansor Sultra Staf Pengajar IIQ janatu Adnin Kendari) 


Baca Selengkapnya ....

SISWA BERPRESTASI MAN 1 KENDARI

Posted by Unknown Minggu, 10 November 2013 0 komentar
Kali ini Uda Go! Blog akan mengetengahkan artikel opini tips ampuh menjadi siswa berprestasi di sekolah. Pembahasan ini sebenarnya kelanjutan dari tips meningkatkan prestasi belajar siswa yang sudah diposting beberapa waktu lalu.
Menjadi siswa berprestasi  yang bagus di sekolah, kadang-kadang menjadi  hal  yang rumit untuk diwujudkan bagi sebagian siswa. Namun sebagian lagi tidak ambil pusing dengan hal ini. Yang penting dapat menjalani proses pembelajaran sebagaimana mestinya setiap hari.
Apa tolok ukur siswa berprestasi? Tidak ada formulasi yang baku tentang hal ini. Siswa dikatakan berprestasi di sekolah apabila memperoleh hasil belajar yang sangat memuaskan. Benar! Tapi sangat memuaskan bagaimana? Ada juga yang mengelompokkan siswa berprestasi itu mampu meraih peringkat 10 besar. Ada pula yang mengatakan berprestasi itu sampai peringkat 3 besar. Atau bila siswa mampu meraih juara 1.  Semuanya benar!
Biasanya, siswa yang meraih juara 1 sampai 3 saat menerima rapor akan diumumkan oleh guru dan tampil ke depan siswa lainnya. Ada juga saat menerima rapor bersama orang tua sehingga siswa berprestasi tersebut tampil di podium bersama orang tuanya. Ini pastilah sangat membahagiakan siswa dan orang tuanya.
Bagi sobat yang pengin menjadi siswa berprestasi atau orang tua yang pengin anaknya berprestasi di sekolah, berikut ini dikemukakan tipsnya:
1.Membagi waktu dengan baik
Seorang siswa harus bisa membagi waktunya dengan baik agar berprestasi di sekolah. Bisa membagi waktu antara belajar, bermain, membantu orang tua, istirahat, termasuk main facebook-an, twiter-an atau blogging bagi yang sudah terlanjur hobi berselancar di dunia maya.
2.Meminati semua mata pelajaran
Kurang menyukai satu atau beberapa mata pelajaran di sekolah merupakan suatu kerugian bagi siswa yang ingin berprestasi. Mengapa? Otomatis nilai pada mata pelajaran ini juga kurang memuaskan sehingga mempengaruhi jumlah nilai semua mata pelajaran. Oleh sebab itu, sukai dan pelajari dengan sungguh-sungguh semua mata pelajaran. Jika ada mata pelajaran tertentu yang memang kurang disukai pelajari juga bagaimana meminati mata pelajaran tertentu.
3.Menunjukkan sikap dan prilaku baik
Guru lebih cenderung akan tertarik kepada siswa yang bersikap dan berprilaku baik. Lumrah, kalau guru akan membenarkan saja jawaban siswa yang sedikit salah dalam ulangan karena sikap dan prilaku siswa yang baik. Guru tidak akan ‘pelit’ memberi nilai. Sikap dan tingkah laku siswa termasuk unsur penilaian dalam pendidikan.
4.Rajin mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah
Kesalahan yang umum dilakukan siswa adalah kemalasan mengerjakan tugas dan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru. Pertama sekali yang dilihat guru adalah,  apakah tugas yang diberikan ada dikerjakan siswa atau tidak. Guru belum melihat apakah yang dikerjakan siswa, benar atau salah. Nah, jika semuanya dikerjakan dan ternyata pekerjaan siswa benar, peluang emas bagi siswa untuk mendapat nilai yang memuaskan.
5.Aktif dalam kegiatan belajar
Guru akan menandai siswa yang aktif dalam belajar di ruang kelas. Keaktifan siswa dalam belajar ditandai dengan aktivitas siswa, baik bertanya maupun menjawab pertanyaan lisan yang diajukan oleh guru.
6.Memiliki motivasi yang tinggi
Untuk menjadi siswa berprestasi perlu adanya motivasi atau dorongan semangat yang tinggi untuk belajar dan meraih prestasi. Oleh sebab itu siswa perlu meningkatkan motivasi belajar sendiri. Faktanya, jarang ada siswa yang rendah motivasi belajarnya akan mendapat juara di kelas.
7.Menguasai cara belajar yang efektif
Siswa yang menguasai cara belajar efektif akan mudah untuk mencapai hasil belajar yang memuaskan. Termasuk di dalamnya bagaimana cara menghadapi ujian kenaikan kelas. Nilai ujian kenaikan kelas memiliki prosentase yang lebih besar dari unsur-unsur penilaian yang lain.
8.Taat beribadah
Siswa yang taat beribadah kepada Allah SWT akan selalu berdoa untuk kesuksesan dirinya dalam menggapai hasil belajar yang baik. Mereka memiliki keterkaitan spiritual yang kuat dengan Yang Maha Kuasa

Baca Selengkapnya ....

Hj. Syamsiar mengalungkan bunga kepada siswa berprestasi Olimpiade sain

Posted by Unknown 0 komentar
Malang, Humas  Madrasah harus mampu tampil lebih baik dari masa  kemasa. kompetisi yang dilaksanakan di kalangan madrasah perlu disokong oleh semua pihak untuk tetap di pertahankan dan ditingkatkan.
Sekjen Kemenag RI Bahrul Hayat mengatakan  kita akan memperhatikan alokasi anggaran untuk setiap kompetisi yang melibatkan madrasah ini, kalau dapat akan kita tingkatkan dari masa kemasa. kompetisi ini menghasilkan siswa yang berprestasi di bidangnya, seandainya ada siswa yang berprestasi ini putus sekolah karena kekurangan biaya maka laporkan kepada kami untuk dapat dibantu biaya sekolahnya pernyataan ini disampaiakan ketika menutup acara AKsioma dan KSm Nasional di Malang.
Dari hasil Pengumuman Panitia Pada KSM dan Aksioma di malang ini sultra MAN 1 kendari berhasil memperoleh 1 perunggu untuk mata pelajaran FISIKA sedangkan juara umum AKSIOMA dan KSM berhasil di sandingkan oleh kontingen Jawa Timur

Baca Selengkapnya ....

1 MUHARAM 1435 HIJRIAH

Posted by Unknown Selasa, 05 November 2013 0 komentar

Sebagai bulan pertama dalam sistem penanggalan hijiryah, bulan Muharram memiliki beberapa keistimewaan dan keutamaan yang tidak dimiliki bulan lain diantaranya
Bulan Muharram merupakan salah satu dari Al-Asyhur Al-Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan) oleh Allah SWT yang berjumlah empat, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Karena para ulama’ tafsir bersepakat tentang empat bulan tersebut yang masuk pada Al-Asyhur Al-Hurum. Dalam surat At-Taubah ayat 36 Allah SWT berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (التوبة : 36)
“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah ialah dua belas bulan pada ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Pada ayat ini dapat dipahami bahwa ketetapan Allah SWT setelah penciptaan langit dan bumi Allah menetapkan bilangan bulan yang berjumlah 12, empat diantaranya adalah bulan-bulan haram (yang di muliakan) bulan yang mendapat keistimewaan dari Allah swt dari pada bulan-bulan yang lain kecuali bulan Ramadlan.
Diantara empat bulan tersebut adalah bulan Muharram, yang mana Allah melarang umat Islam berperang dan melakukan kedhaliman sebagai penghormatan pada bulan Muharram. Karena menurut sebagian ahli tafsir disamping amalan pada bulan tersebut pahalanya dilipatgandakan, keburukannya pun balasannya akan dilipat gandakan. Maka alangkah baiknya pada bulan Muharram diisi dengan kebaikan-kebaikan serta menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan,
ثُمَّ اخْتَصَّ مِنْ ذَلِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَجَعَلَهُنَّ حَرَامًا، وعَظم حُرُماتهن، وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيهِنَّ أَعْظَمَ، وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ وَالْأَجْرَ أَعْظَمَ.
 Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan yang ada, bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga melipatgandakan perbuatan dosa disamping melipatgandakan perbuatan baik.
Dalam sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah RA, dijelaskan mengenai ketetapan empat bulan haram ini,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ، وَرَجَبُ مُضَرَ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.
Maka jelaslah bahwa empat bulan tersebut memiliki keagungan dan keistimewaan yang sangat luar biasa  dari bulan-bulan yang lain kecuali bulan Ramadlan, hingga Allah SWT dan Rasulnya SAW memberi penjelasan khusus mengenai hal ini. oleh Moh. safrudin Staf pengajar MAN 1 Kendari

Baca Selengkapnya ....

MAKNA TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARAM 1435 H

Posted by Unknown 0 komentar
Sebelum Khalifah Umar Bin Khattab menentukan momentum hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah sebagai titik penentu perhitungan hijriyah, bulan Muharram disebut dengan bulan Shafar Awal, karena posisinya yang terletak sebelum bulan shafar.
Nama Muharram secara bahasa dapat diartikan sebagai bulan yang diharamkan. Yaitu bulan yang didalamnya orang-orang Arab diharamkan dilarang (diharamkan) melakukan peperangan. Begitulah kebiasaan mereka tempo dulu mengkhususkan bulan-bulan peperangan dan bulan-bulan gencatan senjata. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir terdapat keterangan berikut,
أَنَّ الْمُحَرَّمَ سُمِّيَ بِذَلِكَ لِكَوْنِهِ شَهْرًا مُحَرَّمًا، وَعِنْدِي أَنَّهُ سُمِّيَ بِذَلِكَ تَأْكِيدًا لِتَحْرِيمِهِ؛ لِأَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ تَتَقَلَّبُ بِهِ، فَتُحِلُّهُ عَامًا وَتُحَرِّمُهُ عَامًا
Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).
Orang arab jaman dulu meyakini bahwa bulan Muharram adalah bulan suci sehingga tidak layak menodai bulan tersebut dengan peperangan, sedangkan pada bulan lain misalnya shafar, diperbolehkan melakukan peperangan. Nama shafar sendiri memiliki arti sepi atau sunyi  dikarenakan tradisi orang arab yang pada keluar untuk berperang atau untuk bepergian pada bulan tersebut.
صَفَرٌ: سُمِّيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوتِهِمْ مِنْهُ، حِينَ يَخْرُجُونَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ.
 Dinamakan bulan shafar karena rumah-rumah mereka sepi, sedangkan para penghuninya keluar untuk berperang dan bepergian.
Maka, sesuai dengan penamaannya bulan Muharaam adalah bulan yang di muliakan dan bulan dimana di larang melakukan peperangan. Demikianlah Allah swt. telah menentukan empat bulan yang dimuliakan, tiga di antaranya berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, sedangkan yang terakhir adalah Rajab terletak antara bulan Jumadal Ula dan Sya’ban.Oleh Moh. safrudin Staf pengajar MAN 1 kendari

Baca Selengkapnya ....

BUNDA .... OH, BUNDA

Posted by Unknown Senin, 14 Oktober 2013 0 komentar
BUNDA .... OH, BUNDA ......

Kata "bunda" berasal dari kata "ibunda" terkesan lebih beraura dalam makna, lebih keramat dalam imajinasi, indah untuk didengar dan lebih manis untuk diucapkan. Dan tentu, lebih orisinil sebagai kata bahasa Indonesia. Dibanding kata "mama", "emak", "mami" atau "mommy" ... Walau kata tersebut bermakna sama.

Jadi wajar, jika sangat banyak para wanita lebih menyukai dipanggil "bunda" oleh putra-putrinya. Bahkan banyak tokoh wanita lebih dikenal dengan sebutan atau panggilan "bunda" di depan namanya. Memang, panggilan "bunda" itu sesuatu banget ...

Tapi, saat ini kata "bunda" sedikit tercoreng. Ketika mendengar kata "bunda" maka seketika teringat pada daging sapi .... Hehehe ....

Selamat pagi Bunda, Ayahanda, Ananda, Adinda dan Kakanda ....

Baca Selengkapnya ....

MELALUI IBADAH QURBAN KITA TINGKATKAN AKHLAK BERBANGSA

Posted by Unknown Rabu, 09 Oktober 2013 0 komentar
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ 3x))
لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ . اَلْحَمْدُ لِلّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ عَلَي اَنْ جَعَلَ الْخَلِيْلَ إِبْرَاهِيْمَ إِمَامًا لَنَا وَلِسَائِرِ اْلبَشَرِ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْجَبَّارُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمبْعُوْثُ لِلنَّاسِ لِيُنْقِذَهُمْ مِنْ كَيْدِ الشَّيْطَانِ وَيُنْجِيَهُمْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ . اَلَّلهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ اْلُمخْتَارِ وَعَلَي اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ اْلَاخْيَارِ. أَمَّابَعْدُ . فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَلَانَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلُمشْرِكُوْنَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ . Pada hari ini tanggal 10 Zul-Hijjah 1434 H. seluruh umat Islam di dunia merayakan Hari Raya Qurban atau Hari Raya Iedul Adha. Term أَضْحَي atau أَضْحِيَةٌ seakar dengan kata ضَحَي yang pada asalnya berarti “waktu dhuha”, yaitu waktu antara pukul tujuh pagi sampai pukul sebelas siang. Kemudian dijadikan sebagai nama bagi sembelihan qurban, yang pelaksanaannya dianjurkan pada waktu dhuha di hari ke 10, 11, 12, dan 13 bulan Zul-Hijjah. Bagi umat Islam yang mampu, disyari’atkan berqurban, yaitu menyembelih hewan qurban berupa sapi atau kambing. Seekor sapi bisa untuk tujuh orang, sedang seekor kambing untuk satu orang. Begitu pentingnya ibadah qurban ini, tergambar pada sabda Nabi SAW dalam salah satu hadisnya: مَنْ وَجَدَ سَعَةً لأَنْ يُضَحِّىَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَحْضُرْ مُصَلاَّنَا ِArtinya: Barangsiapa mempunyai keluasan, sehingga mampu berqurban, tetapi tidak mau berqurban, maka janganlah ia mendatangi tempat kami bersembahyang (H.R. Ahmad dan Ibn Majah). Daging qurban lazimnya dibagi tiga, satu bagian untuk faqir miskin, satu bagian untuk dihadiahkan, dan satu bagian lagi untuk yang berqurban; kecuali untuk qurban nadzar, maka semua daging hewan qurbannya diberikan kepada faqir miskin, dan terlarang bagi yang berqurban untuk memakannya (Al-Muhalla VII: 384). Dalam rangka dakwah, maka daging qurban dapat diberikan atau dihadiahkan kepada orang mampu, yang karena sesuatu hal belum tertarik berqurban. Siapa tahu dengan hadiah itu akan membuka pintu hatinya untuk berqurban pada tahun yang akan datang. Daging qurban juga dapat diberikan atau dihadiahkan kepada orang non-Muslim, terutama tetangga; kecuali Imam Malik yang memandang makruh hukumnya memberikan daging qurban kepada non-Muslim. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ Pada Hari Raya ini pula dilaksanakan salah satu ibadah utama dan rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji, bagi mereka yang mampu. Dalam al-Qur’an disebutkan : وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Q.S. Ali Imran: 97). Kata اِسْتَطَاعَ artinya sanggup atau mampu. Maksudnya mampu biaya, mampu fisik, dan mampu mental. Apakah ukuran mampu itu? Para sahabat Nabi SAW menyebutkan dua hal, yaitu ada bekal dan kendaraan. Tetapi al-Dhahhak, ulama besar yang pernah berguru kepada sahabat, hanya mensyaratkan tubuh yang sehat dan tenaga. Bila perlu, kata al-Dhahhak, berangkatlah ke Baytullah walaupun berjalan kaki. Apakah mereka termasuk kategori orang-orang yang mampu? Tentu saja. Anda sudah mampu bila anda dapat sampai ke Tanah Suci dengan cara apa saja yang halal. Pertanyaan berikutnya, manakah yang mabrur? Yang mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau yang berkendaraan? Yang mendapat ratusan juta dari pembebasan tanah atau yang menabung puluhan tahun? Yang memanfaatkan peluang sebagai TKI/TKW di Arab Saudi atau yang datang ke sana dengan penerbangan regular dari manca negara? Yang tinggal di hotel Grand Zam Zam yang megah atau yang berdesakan di kamar rumah-rumah sederhana di Syi’ib Ali? Mabrurnya haji tidak diukur dari cara memperoleh bekal. Tidak juga dari tempat tinggal atau dari tingkat kepayahannya dalam melaksanakan haji. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah (ketuhanan). Jadi, zikir saja tidak cukup untuk mabrur. Diperlukan transformasi spiritual. Kepada al-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi SAW – bertanya kepadanya, “ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah juga engkau tanggalkan riya’ (suka pamer), kemunafikan, dan syubhat? Ketika engkau berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan oleh Allah? Ketika engkau menuju Makkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah? Ketika engkau memasuki Masjidil Haram, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi iblis selama sisa hidupmu? Ketika untuk semua pertanyaan itu al-Syibli menjawab ‘tidak’, Zainal Abidin mengeluh, “Ah…, engkau belum ke miqat, belum ihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wuquf, dan belum sampai ke Mina.” Al-Syibli menangis. Pada tahun berikutnya dia berniat merevisi (manasik) hajinya. Dalam manasik keluarga Nabi SAW., yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapatkan bekal dan kendaraan, tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya beristirahat di Rumah Allah yang suci. Bila berhasil, berarti anda mabrur. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ Beberapa persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia, kini dan di masa depan, terutama sekali yang terkait dengan penegakan moral bangsa, perlu mendapat refleksi sebagai berikut : Pertama, penegakan hukum dalam pemberantasan KKN Salah satu agenda reformasi yang masih terus harus diberantas hingga hari ini adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Persoalan Korupsi Ketika beberapa orang sahabat, yang sebelumnya ditugasi oleh Rasulullah SAW memungut zakat di suatu daerah, pulang dari melakukan tugas, mereka selain membawa zakat, juga membawa harta benda yang diberikan oleh penduduk setempat sebagai hadiah. Ketika hadiah ini dilaporkan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda (dalam bentuk bertanya) : apakah kalau kamu datang ke sana tidak dalam posisi sebagai pemungut zakat (pejabat), kamu akan diberikan hadiah seperti ini? Jawab mereka : tidak, ya Rasulullah. Kalau begitu ini adalah pemberian yang terkait dengan jabatanmu. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar hadiah itu dikumpulkan dan dimasukkan ke Bait al-Mal (Kas Negara). Dari kissah ini terlihat bahwa hadiah yang terkait dengan jabatan tidak diperkenankan dalam Islam. Pertimbangan moralnya, antara lain, karena hadiah itu diduga kuat dapat mempengaruhi sang pejabat dalam mengambil kebijakan atau dalam memberikan proteksi. Dalam kisah lain disebutkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayyah, pada suatu (malam) hari beliau duduk di kamar kerjanya mempelajari setumpuk dokumen negara. Saking seriusnya, beliau tidak merasa bahwa isterinya (Fatimah) sudah berada di dekatnya kemudian menyapanya : Yang Mulia, maukah anda memberikan waktu untukku barang sejenak? Saya ingin merundingkan masalah pribadi dengan anda. Tentu, jawab Khalifah sambil berpaling menghadap ke isterinya. Tapi tolong matikan lampu itu, yang milik negara, dan nyalakan lampu anda sendiri. Aku tidak mau memakai minyak negara untuk membicarakan masalah pribadi. Kisah teladan ini dapat menjadi cermin koreksi bagi kita semua, terutama yang sesekali menggunakan ‘minyak negara’ untuk kepentingan pribadi. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ Persoalan Kolusi Pada masa Rasulullah, ada seorang perempuan dari suku Mahzum mencuri sebuah perhiasan, lalu dilaporkan kepada Rasulullah, dan diakuinya kesalahannya. Kaumnya khawatir kalau-kalau Beliau SAW akan melaksanakan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku mengenai pencurian itu dan menyebabkan mereka pasti malu, sebab rahasia akan terbuka. Lalu orang-orang suku Mahzum ini mendatangi Usamah bin Zaid, yang terkenal sangat dekat dan sangat dicintai oleh Rasulullah. Usamah diminta untuk menghadap Rasulullah guna merundingkan pembebasan perempuan terpidana itu. Ketika Usamah memberitahu Rasulullah akan hal itu, Rasulullah terlihat marah dan bersabda : apakah engkau hendak menolong orang-orang supaya aku tidak melaksanakan suatu ketentuan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah? Lalu beliau SAW mengumpulkan orang banyak kemudian berseru : فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا (متفق عليه) Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang dahulu sebelum kamu itu menjadi rusak ialah karena jika yang mencuri orang terhormat (misalnya pejabat atau keluarganya), maka dibiarkan saja. Tidak dihukum apa-apa. Tetapi jika yang mencuri itu adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menetapkan hukuman itu sebenar-benarnya. Demi Allah, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, pasti akan kupotonglah tangannya (H. R. Bukhari Muslim). Dari hadis dan asbab al-wurud-nya (latarbelakang muncul atau keluarnya sebuah hadis) ini dapat difahami, bahwa Islam tidak mengenal pilih kasih dalam penegakan hukum. Penegakan hukum tak pilih kasih ini dipraktekkan oleh khalifah Umar. Ketika Abdurrahman bin Umar (anak khalifah Umar) bersama kawannya (Abu Suru’ah) melanggar hukum, yaitu minum khamar dan mabuk di suatu malam yang dingin, mereka datang kepada Gubernur Mesir, Amr bin Ash, mengaku bersalah dan minta dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Karena yang bersalah anak khalifah, awalnya Gubernur enggan, tetapi setelah didesak oleh si yang bersalah sendiri, maka sang gubernur memanggil algojo, memintanya melaksanakan hukum cambuk secara sembunyi-sembunyi (padahal mestinya di muka umum) dan kualitas hukumannya dikurangi. Abdurrahman bin Umar sendiri merasa kurang puas dengan hukuman itu. Lalu ia menambahi sendiri hukumannya dengan mencukur habis rambutnya. Ketika peristiwa memalukan itu diketahui oleh khalifah Umar, ia marah dan mencak-mencak di Madinah. Ia segera mengirim surat (teguran) keras ke Gubernur Mesir. Surat itu diawali dengan kalimat: ”Wahai biang maksiat...” Selanjutnya: ”Engkau telah mengecualikan hukuman atas anakku dengan berbagai keistimewaan dan keringanan. Tindakan itu dapat menjatuhkan kedudukanmu. Kirimkan segera Abdurrahman dan kawannya itu ke Madinah, dan sepanjang perjalanan dari Mesir, Abdurrahman harus selalu membungkuk, tidak boleh mengangkat kepalanya, sebab ia anak khalifah. Adapun Abu Suru’ah tidak usah begitu karena ia rakyat biasa.” (sampai di Madinah, mereka dihukum cambuk lagi). Membaca surat khalifah, sang gubernur tidak berani melanggar lagi. Ia sebenarnya kasihan melihat kejujuran Abdurrahman. Selaku putra khalifah, Abdurrahman telah mengadukan perbuatan aibnya sendiri dan meminta hukuman sebagaimana layaknya warga masyarakat lainnya. Kalaupun ia diperlakukan agak berbeda, sama sekali bukan karena permohonannya, melainkan semata-mata atas kebijakan sang Gubernur yang terpanggil untuk melindungi kehormatan keluarga khalifah. Tetapi terbukti kebijakan itu dinilai khalifah Umar sebagai penyelewengan dari jabatannya, dan ia dituduh telah melanggar amanat negara, yaitu mengenyampingkan asas keadilan tanpa pandang bulu. Khalifah menilai, bahwa hukum telah disalahgunakan menurut kepentingan dan keinginan pribadi. Benih kebobrokan macam begini tidak boleh dibiarkan berkembang subur, lantaran akibatnya, wibawa pejabat negara akan runtuh, wewenang hukum akan diragukan, dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahnya bakal luntur. Jadi, bapak Kepala Negara, Gubernur, Bupati, dan seluruh pejabat yang terhormat, berantaslah korupsi dan penyelewengan, rakyat insya Allah mendukungmu. Catatannya cuma satu, mulailah dari rumah dan pekarangan sendiri. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ Kedua, konsep ukhuwah untuk persaudaraan bangsa Selama ini, yang sering diajarkan dan ditonjolkan di forum-forum dakwah hanya ukhuwah islamiyah. Padahal selain ukhuwah Islamiyah, juga ada ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Ukhuwah Islamiah, adalah persaudaraan seiman sekeyakinan, sama sama muslim, dipersaudarakan oleh ikatan agama Islam. Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan sebangsa setanah air. Kita bersaudara karena kita sama-sama bangsa Indonesia, walupun berasal dari budaya yang berbeda-beda, bahasa yang berbeda, agama yang berbeda, tetapi karena kita satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, maka kita bersaudara, saudara sebangsa namanya. Inilah ukhuwah wathaniyah. Ketiga, ukhuwah basyariah atau ukhuwah insaniah. Persaudaraan karena sama-sama manusia. Jadi manusia secara keseluruhan bersaudara, sebagai anak cucu Adam dan Hawwa, bangsa apapun dia, di manapun dia tinggal. Ukhuwah bentuk ketiga inilah yang mempersaudarakan antara orang Amerika dengan orang Indonesia, antara orang Makassar-Indonesia dengan orang Arab dan seterusnya. Itulah sebabnya, kalau ada tamu dari luar negeri, dari negara manapun asalnya, harus disambut dan dihormati, dimuliakan dan ditempatkan sesuai posisinya. Ajaran فليكرم ضيفه”fal-yukrim dhayfah” (muliakanlah tamu) adalah salah satu dari ciri keimanan seorang muslim. Agama Islam melarang umatnya mencela penganut agama lain atau mencaci maki keyakinan mereka. Sebab kalau umat Islam mencaci maki mereka, nanti pun mereka akan mencaci maki Allah SWT dengan penuh kebencian dan tanpa ilmu pengetahuan. Kita harus bisa saling menghargai, harus bisa saling berdialog. Tetapi perlu diingat, ada yang namanya perbedaan ada pula yang namanya penodaan. Ingat dulu, saat Musailamah al-Kadzdzab mengaku sebagai nabi, Nabi Muhammad SAW mengancam akan memeranginya. Berlanjut ketika di zaman Abu Bakar al-Shiddiq, yang bahkan sampai mengirim pasukan untuk memerangi mereka. Itu bukan karena Nabi SAW atau Abu Bakar r.a. tidak bisa menghargai perbedaan. Sebab itu bukan perbedaan, itu adalah penodaan. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ Ketiga, berbagi itu nikmat Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan angka kelaparan di dunia mencapai lebih dari 1 milyar orang dari total penduduk dunia saat ini yang mencapai 7 milyar. Artinya, terdapat 1 orang yang mengalami kelaparan di antara 7 orang. Laporan itu bahkan menyebutkan 65% dari jumlah orang lapar di dunia berada di 7 negara, salah satunya Indonesia (Harian Republika, 14-10-2013). Rasulullah SAW bersabda: tidaklah beriman seseorang bila ia dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda: bila engkau memasak maka perbanyaklah kuahnya, kemudian engkau bagikan kepada tetanggamu. Dari hadis yang mulia ini mengandung pesan keharusan ”berbagi kuah” kepada tetangga. Jangan-jangan memang ada tetangga kita yang kelaparan sementara kita tidur lelap karena kekenyangan. Hadis ini sesungguhnya bukan hanya menjadi dasar etika kehidupan bertetangga, tetapi juga berbicara tentang pentingnya kebersamaan, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial. Dalam konteks yang lebih luas, konsep ’berbagi kuah kepada tetangga’ ini dapat digunakan dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kelaparan. Ulama besar Ibn Hazm menegaskan, bahwa apabila seorang warga suatu kampung mati kelaparan (misalnya, karena tidak ada yang peduli untuk memberikan makanan), maka diambil diyat-nya (denda) dari penduduk satu kampung itu, karena mereka dapat dipandang sebagai penyebab (tidak langsung) dari kematiannya. Bahkan seorang ulama/pemikir muslim, Afzalurrahman, berpendapat bahwa dalam keadaan negara sangat membutuhkan, Penguasa (Kepala Negara) bisa meminta sepertiga dari harta orang kaya (konglomerat) untuk menanggulangi keadaan kritis negara. Bila orang kayanya enggan memberikan hartanya secara sukarela, penguasa bisa mengambilnya secara paksa. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ Keempat, perikemakhlukan, cara etis menyelamatkan lingkungan Ada satu konsep dalam pengelolaan lingkungan, namanya perikemakhlukan, yaitu pandangan yang menempatkan seluruh makhluk Tuhan, selain manusia, pada tataran persamaan, yaitu sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Konsekuensinya, kita harus menghargai binatang, tumbuhan dan alam lingkungan lainnya. Ada kewajiban agama untuk menempatkan mereka pada posisi terhormat. Ada kewajiban muslim untuk berakhlak yang baik kepada fauna, flora, dan kepada alam lingkungan secara keseluruhan. Dari media kita membaca, betapa kerusakan hutan di Indonesia sangat besar, tanpa diimbangi dengan upaya penanaman kembali secara seimbang. Kalau ini terus berlangsung, maka hutan kita akan habis. Dengan prinsip perikemakhlukan, Islam memerintahkan untuk berbuat al-adl dan al-ihsan, bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam lingkungan. Jika kamu menebang satu pohon kemudian menanam satu pohon, itu baru adil (al-adl). Kalau menebang satu menanam dua atau lebih, itu ihsan namanya. Jadi, kita dituntut tidak hanya berbuat adil, tetapi harus berlaku ihsan kepada lingkungan. Kepada pemegang HPH, saya menghimbau: menebang 100, tanamlah 200 disertai upaya pemeliharaannya sampai tumbuh sebesar yang anda tebang. Konsep perikemakhlukan ini pulalah yang mengharuskan seorang muslim untuk menghargai tanaman dan pepohonan, dan menjanjikan pahala sedekah bagi siapa yang menanam tanaman/pohon. Rasulullah SAW bersabda (artinya): tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman, kecuali dia mendapat pahala sedekah atas hasil tanaman yang telah dimakannya. Apa yang telah dicuri (oleh orang) dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman itu, maka dia (si penanam) juga mendapat pahala sedekah, dan apa yang dimakan oleh burung dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Dan tidaklah seseorang dapat mengambilnya, terkecuali bahwa si penanam tetap mendapat pahala sedekah (H. R. Muslim, dari Jabir). Begitu pentingnya kegiatan menanam tanaman/pohon dalam Islam, sehingga Nabi SAW bersabda (artinya): sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak pohon kurma, maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu) (H. R. Ahmad, dari Anas bin Malik). Seandainya pun kita tahu bahwa besok mau kiamat, Islam masih mewajibkan untuk menanam anak pohon yang ada di tangan, pada hal anak pohon itu tanaman jangka panjang, lama baru berbuah, butuh waktu untuk dipetik hasilnya. Pesan moralnya adalah bahwa kerja keras tidak boleh putus, usaha sungguh-sungguh tidak boleh berhenti, yang bisa menghentikan hanya maut. Prinsip perikemakhlukan inilah pulalah yang mengharuskan seorang muslim untuk memberi nafkah kepada hewan yang digunakan jasanya (HR. Bukhari); memberi perlindungan dan nafkah kepada hewan yang terlantar (HR. abu Daud); kewajiban menyelamatkan hewan yang dalam keadaan bahaya (HR. Abu Daud); menolong binatang adalah sedekah (HR. bukhari Muslim); kewajiban mengayomi binatang (HR. Abu Daud); larangan mengusik ketenangan binatang (HR. Abu Daud); larangan menyiksa binatang (HR. Muslim), larangan mengurung binatang tanpa memberinya makanan (HR. Muslim); larangan membunuh binatang dengan cara menganiaya (Muslim); memperlakukan binatang secara baik dalam menghadapi kematiannya (Muslim); menghargai hak-hak binatang (Nasa’i), dan banyak lagi. Hadis-hadis menegaskan, bahwa hak-hak (asasi) binatang pun harus dilindungi. Itulah sebabnya dalam sebuah hadis, seorang perempuan diancam dengan neraka karena lalai/tidak memberi makan kucing yang dipeliharanya sehingga kucingnya mati. Sebaliknya, dijanji surga bagi seorang perempuan pezina yang menolong memberi minum anjing yang kehausan di tengah gurun sahara. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْد Kelima, pengembangan karakter bangsa Ada pemikiran yang paradoks, karena ternyata yang terlibat korupsi, menurut media, adalah orang-orang terpelajar dan menduduki jabatan terhormat, katakanlah anggota DPR, birokrat, dan bahkan penegak hukum. Mereka pastilah keluaran sekolah mulai dari pendidikan dasar menengah sampai ke perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa orang terpelajar dan terhormat ini yang melanggar hukum? Mungkin inilah, antara lain, yang menjadi latar belakang kebijakan nasional ’Pembangunan Karakter Bangsa’. Pendidikan karakter ini dimaksudkan untuk mengembangkan potensi bangsa agar berfikir baik, memiliki cita rasa yang baik, dan berperilaku baik; memperbaiki karakter-karakter yang salah, serta menyaring nilai-nilai luar yang masuk ke Indonesia yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Unsur yang harus turut bertanggungjawab dalam pendidikan karakter bangsa ini adalah: keluarga, sekolah/pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha, media massa, lingkungan, dan masyarakat luas. Sebagian pakar menyatakan, bahwa adalah tidak tepat kalau pendidikan karakter bangsa ini dimasukkan dalam kurikulum, karena kalau demikian, hanya akan menyentuh ranah kognitif. Padahal karakter harus menjadi bagian dari pengetahuan, sikap, dan perilaku. Kita ingin agar anak-anak bangsa ini beretika, kita ingin mereka bertanggung jawab, dan kita ingin mereka peduli. Dan ini tidak bisa dicapai lewat pengajaran saja tetapi harus lewat pendidikan. Rasanya mendesak untuk memulihkan kembali fungsi guru sebagai pendidik, yang mungkin karena berbagai faktor, akhir-akhir ini cenderung guru berfungsi hanya sekedar sebagai pengajar belaka. Imam al-Gazali menyebut ada tiga komponen diri manusia yang harus dikembangkan secara simultan, yaitu jism (fisik), fikr (pikir), dan qalb (hati). Yang menjadi fokus pendidikan kita di Indonesia hanyalah fikr, sementara qalb dan jism, belum memadai. Upaya pencerdasan intelektual sangat diutamakan, sementara upaya pencerahan hati, kita abaikan. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertaqwa, tetapi aplikasinya tidak dilakukan. Iman dan taqwa tidak boleh hanya diajarkan karena itu hanya menyentuh ranah kognitif, padahal iman dan taqwa lebih pada ranah afektif dan psikomotorik. Sillabi dan kisi-kisi iman dan taqwa pada dua ranah ini (afektif dan psikomotorik) belum lagi kita rumuskan dan belum diaplikasikan dalam lembaga pendidikan kita. Apa standar iman dan taqwa, bagaimana mengukurnya, apa alat evaluasinya. Sejauh mana pengaruhnya dalam penentuan kelulusan siswa/mahasiswa. Kalau terhadap pertanyaan ini jawabnya belum atau tidak, jangan bertanya kenapa orang pintar bisa korupsi, mengapa pemenang olimpiade ilmu bisa bunuh diri. Jawabannya, mungkin karena tidak simultan pembinaan fikir dan hatinya. Tidak seimbang antara pencerdasan intelektualnya dengan pencerahan hatinya. Sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Dan pada gilirannya, kita harus pertegas pula arah dan fokus pembangunan kita, yaitu pembangunan yang berbasis moralitas, bukan semata material. Kalau tidak, hasil-hasil pembangunan kita akan redup, tidak bercahaya, dan (jangan sampai) tidak punya barakah. Wa Allahu a’lam bi al-shawab. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ. اَللهُ أَكْبَرُ x )٧ ( وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ اَلَّلهُمَّ أَعِزَّ اْلِاسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَلَاتَجْعَلْنَا تَحْتَ أَقْدَامِ الْمُنَافِقِيْنَ الظَّالمِيِنَ . اَلَّلهُمَّ انْصَبْ في بِلَادِنَا هذَا إِمَامًا عَادِلًا وَبِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً إِنَّكَ عَلَي كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ . اَلَّلهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَفَرِّقْ جَمْعِيَّةَ اْلكَفَرَةِ وَ اْلُمشْرِكِيْنَ بِعِنَايَتِكَ وَرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . رَبَّنَا اتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ اَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Oleh: Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI (Khutbah disampaikan pada Khutbah ‘Iedul-Adha 1434 H / 2013 M di Pelataran Akademi Gizi Kendari, selasa 10 Dzulhijjah/15 Oktober 2013)

Baca Selengkapnya ....

Pemberdayaan dan Zakat Profesi

Posted by Unknown Kamis, 26 September 2013 0 komentar
Al-Qur'an dalam surat At-Taubah ayat 60 menerangkan bahwa zakat harus di berikan kepada asnaf delapan, yaitu faqir, miskin, amil, muallaf, memerdekakan budak, orang yang punya hutang, ibnu sabil dan sabilillah). إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana Akan tetapi, perkembangan yang ada di masyarakat sekarang ini memunculkan berbagai macam program pemberdayaan ekonomi umat yang menggunkan dana zakat misalnya untuk memberi pinjaman kepada pedagang kecil, penambahan modal usaha mikro dan lain sebagainya. Hal ini seolah bertentangan dengan ketentuan Surat At-Taubah ayat 60 di atas, padahal tidak demikian. Karena pada dasarnya penggunaan dana zakat untuk pemberdayaan hanyalah merupakan pengembangan sistem distribusi dan perngoranisaian yang lebih efektif. Dalam pandangan fiqih hal ini boleh saja dilakukan asalkan sudah mendapat persetujuan dari mustahik. Sebagaimana diputuskan oleh Bahtsul Masail Diniyyah Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke – 28 di Pondok Pesantren Al-Munawwir , Krapyak, Jogjakarta dengan dasar Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab. وَلاَ يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلإِمَامِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتَّى يُوْصِلَهَا إِلَى أَهْلِهَا لِأَنَّ الْفُقَرَاءَ أَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَالَى عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ التَّصَرُّفُ فِيْ مَالِهِمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ Bagi petugas penarik zakat dan penguasa tidak boleh mengelola harta zakat yang mereka dapat, sehingga menyampaikannya kepada yang berhak. Sebab, para fakir adalah golongan orang-orang cakap yang tidak dikuasai orang lain. Maka tidak boleh mengelola harta mereka tanpa seizinnya. sedangkan tentang zakat profesi, Sebagai pekerja kita wajib mengeluarkan zakat profesi kita kalau sudah mencapai nisab (kadar harta yang mewajibkan berzakat).Jadi, begitu dapat gaji atau penghasilan kita setiap bulan, maka harus langsung zakatnya dikeluarkan. Sedangkan usaha misalnya berdagang kalau sudah setahun dan sudah ada satu nisab dagang dan pegawai adalah 85 gram mas murni, maka wajib mengeluarkan zakatnya 2,5%. Dasar hukum zakat profesi, para ulama berbeda pendapat tentang dasar hukum zakat profesi. Ada yang mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah mal mustafad (pendapatan dari hasil kerja), dan ada pula yang mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah qiyas (dianalogikan) kepada zakat pertanian dan buah-buahan.Tapi pendapat yang pertama adalah lebih tepat karena lebih sesuai dengan realita dengan dalil sebagai berikut:Firman Allah: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang kami keluarkan dari bumi” (QS. Al-Baqarah: 267). Perlu dicatat, bahwa zakat itu tidak boleh diberikan kepada orang kaya (selain amil) dan orang yang kuat dan sehat sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:“Tidaklah shadaqoh (zakat) itu dihalalkan bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang sehat dan kuat” (HR. Lima Imam Hadits dan Imam Turmudzi). Wallahu a’lam bishwab (Sumber: Konsultasi Zakat LAZIZNU dalam Nucare yang diasuh oleh KH. Syaifuddin Amsir / Red. Ulil H)

Baca Selengkapnya ....

MENJADI GURU YANG KREATIF

Posted by Unknown Kamis, 12 September 2013 0 komentar
Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus mempunyai akta mengajar dan sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia. Guru selalu dituntut agar selalu kreatif, banyak ide, prakarsa, inovasi, dan hal-hal baru lainnya. Guru yang tidak kreatif tidak akan menarik bagi para murid-muridnya. Murid hanya menyukai orang kreatif. Bahkan anak-anak dimasukkan ke sekolah, bukan agar mereka berhasil menghafal isi buku yang dikarang oleh seseorang. Tatkala dianjurkan untuk membaca buku, maksudnya adalah agar jiwa kreatifitasnya tumbuh. Kreatifitas seseorang, termasuk guru, agar selalu tumbuh, maka memerlukan ruang, lingkungan, iklim atau suasana yang tepat. Suasana yang penuh dengan aturan, tata tertib, petunjuk, dan sejenisnya itu tidak akan melahirkan kreatifitas. Sebaliknya, hanya akan membunuh kreatifitas guru. Kreatifitas akan lahir manakala ada tantangan, suasan yang menghimpit, dan bahkan adanya persoalan yang seharusnya diselesaikan. Tanpa adanya tantangan, seseorang tidak akan maju dan bersemangat untuk berbuat. Anak-anak yang dimanja oleh orang tuanya, dengan memenuhi semua kebutuhannya, atau apa saja dibantu, maka yang bersangkutan justru tidak akan tumbuh normal. Mereka akan menjadi cengeng. Itulah sebabnya, ada nasehat yang cukup bijak, agar anak tidak dimanjakan. Anak-anak harus diberti tantangan agar semakin cerdas dan kreatif, sekalipun tantangan itu harus disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuannya. Terkait dengan kreatifitas yang kemudian saya kaitkan dengan proses pembelajaran, maka saya seringkali mengagumi para kyai. Pimpinan pondok pesantren pada umumnya tidak pernah belajar tentang cara mengajar. Umpama mereka mengetahui tentang bagaimana mengajar, hanyalah berasal dari pengalaman atau kyainya tatkala mereka belajar. Oleh karena itu, saya yakin, para kyai tidak memiliki pengetahuan ilmiah secara mendalam tentang mengajar. Namun demikian, saya juga yakin, mereka mengetahui hakekat atau filsafat mengajar. Kekaguman saya terhadap prestasi kyai, sebenarnya tolok ukur yang saya gunakan juga amat sederhana. Saya membandingkan antara dua jenis lembaga pendidikan yang berbeda, yaitu sekolah dan pesantren. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan bahasa asing. Sekolah umum mengajarkan Bahasa Inggris, sementara itu, pesantren mengajarkan Bahasa Arab. Para pengajar Bahasa Inggris di sekolah umum dibekali dengan berbagai pengetahuan ilmiah, peralatan yang cukup, lingkungan yang mendukung, dan bahkan gaji atau honorarium yang memadai. Sebaliknya di pesantren, para pengajarkan Bahasa Arab, pada umumnya tidak memiliki pengetahuan ilmiah tentang metodologi pengajaran. Bagi mereka yang penting mengajar agar para santrinya mampu berbehasa Arab baik membaca, menulis, maupun memahaminya. Peralatan mengajar yang digunakan oleh para kyai, tempat, dan apalagi honorarium, seringkali tidak terurus. Akan tetapi pada kenyataannya, sekalipun tidak terlalu lama belajar, para santri sudah bisa bercakap-cakap dan membaca buku teks berbahasa Arab. Sementara itu, manakala berani jujur, tidak semua anak lulusan SMA, dan bahkan S1, S2, atau bahkan S3, berhasil menguasai Bahasa Inggris. Kelemahan itu akan ketahuan, ketika para sarjana mau berangkat belajar ke luar negeri. Mereka secara mendadak harus belajar Bahasa Inggris lagi secara intensif, kursus toefl dan semacamnya. Padahal di setiap jenjang, selalu diberikan pelajaran Bahasa Inggris dan telah dinyatakan lulus. Perbedaan yang mencolok di antara ke dua jenis lembaga pendidikan itu, saya menduga disebabkan oleh karena adanya suasana yang berbeda di antara keduanya. Para kyai memiliki otoiritas, kebebasan dan keleluasaan untuk mengembangkan kreatifitasnya. Berbekalkan suasana itu, para kyai berhasil mengembangkan kreatifitasnya, termasuk kreatifitas dalam mencari teknik mengajar yang tepat. Sementara itu, para guru di sekolah dihadapkan pada berbagai peraturan, tolok ukur, jumlah jam, dan berbagai pedoman, sehingga menjadikan tugasnya ditunaikan atas petunjuk formal itu. Bermacam-macam pedoman atau ketentuan yang diberlakukan kepada guru,disadari atau tidak, sebenarnya justru membunuh kreatifitas mereka. Dengan berbagai petunjuk, para guru menjadi tidak memiliki ruang untuk mengembangkan kreatifitasnya. Orientasi guru akhirnya hanya pada peraturan. Sebab mereka disebut sebagai guru yang baik manakala telah mengikuti peraturan atau pedoman secara tepat, sekalipun hal itu justru menjadikan guru tidak kreatif. Para guru telah mengajarkan Bahasa Inggris sesuai kurikulum dan petunjuk yang diberikan, namun pada kenyataannya, para siswa sekalipun telah dinyatakan lulus belum mampu berbicara dan memahami buku berbahasa Inggris. Cara mengajar bahasa asing di Madrasah, pesantren Bahasa Arab, ternyata berhasil, walaupun dilakukan dengan cara sederhana dan murah. Bahkan di beberapa pesantren tidak saja berhasil mengajarkan Bahasa Arab, tetapi sekaligus juga Bahasa Inggris. Pesantren Gontor Ponorogo dan pesantren moderen lain menerapkan sistem pondok atau asrama, adalah sedikit contoh pesantren yang berhasil membekali santrinya dua bahasa asing sekaligus. Di dua pesantren itu, guru dibekali semangat, niat yang teguh, integritas, dan keikhlasan bekerja. Dengan cara itu, ternyata pendidikan bahasa asing di pesantren ternyata lebih berhasil dibanding para guru di banyak sekolah umum yang dibekali dengan peraturan dan petunjuk teknis. Memperhatikan keberhasilan pendidikan bahasa asing di pesantren dan kemudian membandingkannya dengan di sekolah pada umumnya, maka hati saya selalu bertanya-tanya, mengapa pemerintah tidak berani mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh pesantren. Bukankah pesantren sebenarnya juga milik bangsa Indonesia sendiri. Sesuatu pendekatan di pesantren yang ternyata berhasil, mengapa tidak dikembangkan di lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Selain itu, tatkala berbagai peraturan, pedoman, petunjuk teknis, justru membunuh kreatifitas, maka pertanyaannya, mengapa pemerintah justru membuat dan memberlakukannya kepada semua guru. Bagi pekerja yang hanya menggunakan tenaga fisik memang diperlukan pedoman, petunjuk, atau sejenisnya. Akan tetapi para dosen, guru, seniman, dan sejenisnya, oleh karena jenis pekerjaan itu bukan bersifat fisik, maka kiranya tidak terlalu memerlukannya. Para pekerja itu, asalkan telah memenuhi syarat, baik menyangkut latar belakang pendidikan, pengalaman, catatan keberhasilan dalam menunaikan tugas, dan sejenisnya, maka semestinya diberi peluang seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitasnya. Saya ingat sebuah nasehat dari seorang bijak, bahwa hanya orang buta saja yang memerlukan pemandu atau tongkat. Sementara itu, guru bukan seperti orang buta. Oleh karena itu, ketika guru terlalu banyak diberi pedoman, petunjuk, arahan yang bersifat teknis, maka sama halnya dengan mempersamakan mereka dengan orang buta. Berikanlah kepada para guru ruang untuk berkreatifitas seluas-luasnya sebagaimana para ustadz di pesantren yang ternyata mereka lebih berhasil dalam mengajarkan Bahasa Arab kepada para santrinya. Wallahu a’lam. Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI (Staf pengajar MAN 1 Kendari dan pengasuh acara SINAR RRI Kendari)

Baca Selengkapnya ....

PENGERTIAN PUASA

Posted by Unknown Rabu, 10 Juli 2013 0 komentar
Kata puasa dalam bahasa Arab adalah “Shiyam atau shaum”, keduanya merupakan bentuk masdar, yang bermakna menahan. Sedangkan secara istilah fiqh berarti menahan diri sepanjang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat tertentu, menahan dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa bagi orang islam yang berakal, sehat, dan suci dari haid dan nifas bagi seorang muslimah. Puasa ramadhan hukumnya wajib untuk semua muslim yang memenuhi syarat untuk melakukannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan berdasarkan nash al-Qur’an yang sifatnya qot’i dalam kajian ilmu fiqh. يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ... Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagimu ibadah puasa, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa...(QS. al-Baqarah, 2: 183) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى اَنْزَلَ فِيْهِ الْقُرْاَنُ هُدًى للِّنَّاسِ وَبَيِنَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ... Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,..(QS. al-Baqarah, 2:185) OLEH : MOH. SAFRUDIN Staf pengajar MAN 1 Kendari

Baca Selengkapnya ....

SYARAT WAJIB DAN RUKUN PUASA

Posted by Unknown 0 komentar
Sarat Wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum melaksanakan suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib, maka gugurlah tuntutan kewajiban kepadanya. Sedangkan rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam sebuah ibadah. Adapun Syarat pertama seseorang itu diwajibkan menjalankan ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan, yaitu ia seorang muslim atau muslimah. Karena puasa adalah ibadah yang menjadi keharusan atau rukun keislamannya, sebagaimana termaktub dalam hadits yang diriwayat kan oleh Imam Turmudzi dan Imam Muslim: عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ Dari Abi Abdurrahman, yaitu Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab r.a, berkata: saya mendengar Rasulullah s.a.w, bersabda: Islam didirikan dengan lima hal, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, didirikannya shalat, dikeluarkannya zakat, dikerjakannya hajji di Baitullah (Ka’bah), dan dikerjakannya puasa di bulan Ramadhan. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 7 dan Muslim: 19) Syarat yang kedua seseorang itu berkewajiban menjalankan ibadah puasa ramadhan, yaitu ia sudah baligh, dengan ketentuan ia pernah keluar mani dari kemaluannya baik dalam keadaan tidur atau terjaga, dan khusus bagi perempuan sudah keluar haid. Dan syarat keluar mani dan haid pada batas usia minimal 9 tahun. Dan bagi yang belum keluar mani dan haid, maka batas minimal ia dikatakan baligh pada usia 15 tahun dari usia kelahirannya. Dengan syarat ketentuan baligh ini, menegaskan bahwa ibadah puasa ramadhan tidak diwajibkan bagi seorang anak yang belum memenuhi cirri-ciri kebalighan yang telah disebutkan di atas. Syarat yang ketiga bagi seorang muslim dan baligh itu terkena kewjiban menjalankan ibadah puasa, apabila ia memiliki akal yang sempurna atau tidak gila, baik gila karena cacat mental atau gila disebabkan mabuk. Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar karena mabuk atau cacat mental, maka tidak terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa, terkecuali orang yang mabuk dengan sengaja, maka ia diwajibkan menjalankan ibadah puasa dikemudian hari (mengganti di hari selain bulan ramadhan). رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتّى يُفِيْقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ Tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur sapai ia terbagngun, orang yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh. (Hadits Shahih, riwayat Abu Daud: 3822, dan Ahmad: 910. Teks hadits riwayat al-Nasa’i) Syarat keempat adalah kuat menjalankan ibadah puasa. Selain islam, baligh, dan berakal, seseorang harus mampu dan kuat untuk menjalankan ibadah puasa. Dan apabila tidak mampu maka diwajibkan mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah. Untuk keterangan lebih detailnya akan dijelaskan pada fasal selanjutnya yang insyaallah akan diterangkan pada pasal permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan ibadah puasa. Syarat kelima Mengetahui Awal Bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan diwajibkan bagi muslim yang memenuhi persyaratan yang telah diuraikan di atas, apabila ada salah satu orang terpercaya (adil) yang mengetahui awal bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal secara langsung dengan mata biasa tanpa peralatan alat-alat bantu. Dan persaksian orang tersebut dapat dipercaya dengan terlebih dahulu diambil sumpah, maka muslim yang ada dalam satu wilayah dengannya berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Dan apabila hilal tidak dapat dilihat karena tebalnya awan, maka untuk menentukan awal bulan Ramadlon dengan menyempurnakan hitungan tanggal bulan sya’ban menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad s.a.w, yang diriwayatkan oleh Imam Buchori, r.a: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُواعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ Berpuasa dan berbukalah karena melihat hilal, dan apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah hitungannya bulan menjadi 30 hari (H.R. Imam Buchori) عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ اَعْرَبِيُّ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اِنِّي رَاَيْتُ اْلهِلَالَ فَقَالَ: اَتَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلّاَ اللهَ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَتَشْهَدُ اَنْ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ اَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا Dari ‘ikrimah, ia dapatkan dari Ibnu Abbas, berkata: datanglah orang Arab Badui menghadap Nabi s.a.w, ia berkata: sesungguhnya aku telah melihat hilal. Nabi menjawab: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah”, orang Arab Badui tadi menjawab; “ia”. Lalu Nabi bertanya lagi: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “ sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah”, dan Orang Arab Badui menjawab “ia”. Lalu Nabi bersabda; “wahai Bilal perdengarkanlah adzan ditengah-tengah kerumunan manusia, dan perintahkanlah mereka untuk mengerjakan puasa pada esok hari” (Hadits Shahih diriwayatkan oleh lima Imam, kecuali Ahmad) Adapun Rukun puasa hanya dua, pertama Niat. Niat puasa Ramadhan merupakan pekerjaan ibadah yang diucapkan dalam hati dengan persyaratan dilakukan pada malam hari dan wajib menjelaskan kefarduannya didalam niat tersebut, contoh; saya berniat untuk melakukan puasa fardlu bulan Ramadhan, atau lengkapnya dalam bahsa Arab, sebagai berikut: نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانِ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ Saya niat mengerjakan ibadah puasa untuk menunaikan keajiban bulan Ramadhan pada tahun ini, karena Allah s.w.t, semata. Sedangkan dalil yang menjelaskan niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w, sebagai berikut: مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa sebelum waktu hajar, maka ia tidak berpuasa. (Hadits Shahih riwayat Abu Daud: 2098, al-Tirmidz: 662, dan al-Nasa’i:2293). Adapun dalil yang menjelaskan waktu mengucapkan niat untuk puasa sunnah, bisa dilakukan setelah terbit fajar, yaitu: عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَّيَّ رَسُولُ اللهِ صَلِّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقُلْنَا لَا فَقَالَ: فَاِنِّي اِذًنْ صَائِمٌ. ثُمَّ اَتَانَا يَوْمًا اَخَرَ، فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ اُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: اَرِيْنِيْهِ فَلَقَدْ اَصْبَحْتُ صَائِمًا فَاَكَلَ Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, suatu hari Nabi s.a.w, dating kepadaku dan bertanya, “apakah kamu punya sesuatu untuk dimakan?”. Aku menjawab, “Tidak”. Maka Belaiu bersabda, “hari ini aku puasa”. Kemudian pada hari yang lain Beliau dating lagi kepadaku, lalu aku katakana kepadanya, “wahai Rasulullah, kami diberi hadiah makanan (haisun)”. Maka dijawab Rasulullah, “tunjukkan makanan itu padaku, sesungguhnya sejak pagi aku sudah berpuasa” lalu Beliau memekannya. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Daud: 2099, al-Tirmidzi; 666, al-Nasa’i:2283, dan Ahmad:24549) Dan rukun kedua adalah Menahan Diri Dari Segala Sesuatu Yang Membatalkan Puasa. Untuk detailnya apa-apa yang membatalkan puasa akan dijelaskan pada pasal sesuatu yang membatalkan puasa. ...فَاْلئَنَ باَشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ ثُمَّ اَتِّمُوْا الصِّيَامَ اِلَى اللَّيْلِ... “…maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, serta makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba...(QS. al-Baqarah, 2: 187) oleh : Moh. safrudin pengajar MAN 1 KENDAR
I

Baca Selengkapnya ....

Pidato Yang Menampar Dunia Pendidikan

Posted by Unknown Kamis, 04 Juli 2013 0 komentar
Sebuah Pidato Yang Menampar Dunia Pendidikan
Kita tentu sudah terbiasa melihat seorang lulusan terbaik dari sebuah sekolah atau kampus diundang untuk maju kedepan mimbar dan memberikan pidatonya mengenai predikat lulusan terbaik yang telah diterimanya. Umumnya para lulusan terbaik ini akan mengungkapkan betapa bersyukurnya mereka atas prestasi yang telah dicapainya tersebut dan mengucapkan banyak sekali untaian ucapan terimakasih pada orang-orang yang menurut mereka telah berjasa membantu mereka meraih predikat tersebut.
Namun bagaimana jika pidato yang disampaikan tersebut bukannya menunjukan betapa bangganya sang lulusan akan predikat tersebut namun justru sebuah pidato yang sangat brilian dan mecengangkan yang justru menampar secara keras wajah dunia pendidikan. Pidato ini disampaikan oleh seorang lulusan dari sebuah Universitas (pada beberapa sumber dikatakan bahwa ini pada jenjang pendidikan setingkat SMA) terkemuka diluar negeri. Berikut ini isi pidato tersebut yang Saya sadur dari sebuah sumber. Sedangkan untuk videonya bisa Anda lihat disini.
Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….

Yah inilah wajah pendidikan di dunia saat ini. Tak perlu jauh-jauh melihat keluar negeri, mari kita tengok saja di negara kita sendiri. Pendidikan yang kita jalankan lebih banyak menitik beratkan pada nilai (nilai UN atau IPK). Pendidikan yang seharusnya lebih menekankan pada proses dan pengembangan potensi peserta didik justru terkadang mematikan potensi itu. Siswa, serta juga mahasiswa, didoktrin untuk terus menghapalkan dan mempelajari berbagai materi yang lucunya sebagian besar justru tidak akan berguna saat mereka bekerja ataupun hidup bermasyarakat.

Berbagai kegiatan positif yang membantu pengembangan potensi peserta didik dilingkungan pendidikan, seperti ekstrakulikuler di sekolah atau berbagai jenis himpunan dan UKM di Perguruan Tinggi, justru dibelenggu dengan pembatasan anggaran dan pemberlakuan jam kegiatan. Lembaga pendidikan seakan hanya ingin mengembangkan potensi akademis peserta didik dan melupakan berbagai potensi lain yang mungkin dimiliki peserta didik tersebut.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sekolah dan kuliah itu tidaklah penting karena pendidikan membuat kita memiliki pengetahuan. Tapi alangkah lebih baik jika pengetahuan itu juga ditunjang dengan pengembangan pola pikir peserta didik sehingga kita mampu menggunakan pengetahuan itu dengan cara yang paling bijaksana dan tepat. Bukankah pendidikan seharusnya membantu peserta didik untuk mengetahui siapa dirinya serta apa potensinya dan menyediakan segala sarana dan prasarana sehingga potensi itu bisa berkembang dengan sebaik-baiknya sehingga mereka mampu sukses dalam hidupnya.

Saya jadi teringat sebuah kalimat yang menurut Saya sangat mengena, tapi Saya lupa pernah membaca atau melihatnya dimana. "Orang-orang yang dulunya adalah siswa berprestasi di kelasnya umumnya akan berakhir sebagai seorang pegawai dari sebuah perusahaan, sementara teman-teman mereka yang dulunya biasa-biasa saja atau bahkan mungkin bodoh akan menjadi orang-orang yang menjadi pemilik perusahaan yang menggaji mereka". Sebuah kalimat yang lebih menohok pernah diutarakan oleh Paulo Freire, jika Saya tidak salah ingat, "Nenekku menginginkanku menjadi orang pintar, maka Ia melarangku ke sekolah".

kutip dari :http://tobeeinspired.blogspot.com/2013/07/sebuah-pidato-yang-menampar-dunia.html

Baca Selengkapnya ....

TAQWA DAN AKHLAK MULIA ADALAH TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

Posted by Unknown Jumat, 31 Mei 2013 0 komentar
Selasa siang, MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 50 Ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dengan dikabulkannya uji materi tersebut, RSBI dibubarkan oleh MK. Mencermati hal itu maka saya membaca naskah konsep kurikulum yang akan diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 2013 adalah sangat menggembirakan. Dalam naskah itu disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah diawali untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Menjadi menarik dan menggembirakan oleh karena persoalan bangsa Indonesaia selama ini adalah terletak pada wilayah itu dan lewat kurikulum tersebut persoalan tersebut akan diselesaikan. Memang senyatanya, bahwa korupsi, kolosi, nepotesme, tawuran, narkoba, perselingkuhan, sampai pada kasus-kasus plagiat sebenarnya adalah bersumber dari rendahnya keimanan, ketaqwaan dan akhlak itu. Terkait dengan persoalan tersebut, pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya menanamkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak yang mulia itu kepada peserta didik. Pendidikan tersebut tentu tidak cukup hanya lewat pemberian bahan pelajaran oleh guru kepada para siswanya, dan apalagi itu dijalankan lewat kegiatan yang bersifat formal dalam waktu tertentu. Sasaran pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia bukan hanya terletak pada wilayah kecerdasan intelek atau pikiran, melainkan pada wilayah hati. Sentuhan-sentuhan hati, pembiasaaan, dan ketauladan dalam kehidupan sehari-hari itu sebenarnya adalah merupakan proses panjang yang harus dijalankan secara terus menerus dalam mengimplementasikan pendidikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. Dalam sejarah, bahwa pendidikan keimanan, ketataqwaan dan akhlak mulia yang paling sukses adalah dilakukan oleh para nabi dan tidak terkecuali Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, manakala pendidikan itu ingin sukses, maka dalam batas-batas tertentu, menyesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki, seharusnya mengikuti siapa yang telah menjalankan dan terbukti sukses itu. Selain itu, sebagai hal penting yang seharusnya dipahami secara mendalam adalah tentang bahan dan metodologi yang dijalankan. Para nabi, termasuk Nabi Muhammad sukses dalam menjalankan pendidikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia oleh karena utusan Tuhan itu terlebih dahulu telah menyandang kekayaan, berupa karakter yang mulia itu. Hal itu memberikan petunjuk bahwa seharusnya penyandang peran pendidik karakter mulia itu adalah orang yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Tidak akan mungkin orang yang tidak beriman, tidak bertaqwa, dan tidak berakhlak mulia akan melahirkan anak didik yang memiliki kharakter ideal itu. Karakter terpuji hanya akan lahir dari guru yang memiliki akhlak mulia. Selain itu, hal yang penting adalah bahwa karakter mulia akan lahir dari lingkungan, atau proses-proses kehidupan yang terpuji dan mulia. Suasana pendidikan yang di sana terdapat sikap-sikap tidak terpuji, seperti memanipulasi raport, membiarkan anak-anak berbuat curang dalam ujian, guru yang tidak disiplin, suasana pendidikan yang diwarnai oleh nilai-nilai transaksional dan sebagainya, sebenarnya merupakan pendidikan yang kontradiktif dari tujuan pendidikan yang amat mulia itu. Sosok nabi sebagai guru adalah orang yang terpercaya, memiliki komitmen dan integritas yang sempurna dalam membanghun kualitas manusia, sehingga keberadaannya selalu menjadi tauladan atau uswah hasanah bagi masyarakat yang dididiknya. Selain itu, Nabi secara total memberikan jiwa dan raganya demi untuk menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya. Nabi juga tidak saja memberikan pengetahuan, melainkan selalu menjalankan apa saja yang diajarkannya. Bahasa lisan nabi selalu sama persis dengan bahasa perbuatannya sehari-hari. Itulah pendidikan karakter, pendidikan keimanan, dan pendidikan ketaqwaan yang sebenarnya. Pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, sebagaimana dijalankan oleh Nabi, bersumber dari kitab yang tidak pernah terdapat di dalamnya kesalahan dan atau bahkan sekedar meragukan, ialah kitab suci. Bahan pelajaran itu diberikan langsung dari Tuhan. Oleh sebab itu semestinya, bahan pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia tidak perlu dicari dari sumber lain, tetapi seharusnya mendasarkan pada wahyu yang telah terhimpun dalam kitab suci, yang nyata-nyata kitab itu telah berhasil membentuk perilaku mulia. Sebagai bangsa yang berpancasila, dalam hal ini rakyatnya memeluk berbagai agama, maka anak-anak seharusnya diajarkan kitab suci sesuai dengan agamanya masing-masing. Anak-anak muslim diajari al Qur’an, anak kristen diajari Injil, dan seterusnya. Memperhatikan riwayat kehidupan nabi dalam membangun keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia itu bagi siapapun adalah terasa berat. Guru atau para pendidik harus melakukan peran-peran prophetik atau kenabian. Pandangan seperti itu tidak berlebihan oleh karena juga dikatakan bahwa, para ulama’ atau setidaknya guru adalah mengemban amanah sebagai pewaris para nabi. Peran sebagai pewaris tentu tidak akan sempurna sebagaimana orang yang mewarisi. Harta waris selalu akan dibagi-bagi kepada semua yang berhak, sehingga perolehannya tidak akan sama dengan yang dimiliki oleh leluhur pemiliknya. Paling tidak dengan pandangan seperti itu, maka harus dipahami bahwa pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia tidak akan berhasil manakala hanya dilakukan seadanya, ialah hanya sekedar menyampaikan bahan-bahan ajar secara terbatas. Pendidikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia harus diberikan oleh orang yang telah memiliki karakter itu, menggunakan pedoman yang tepat yaitu kitab suci, dan seharusnya berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak terbatas hanya dalam program-program terstruktur di kelas belaka. Para guru tidak akan mungkin menyamai kehidupan Nabi, tetapi paling tidak bahwa yang bersangkutan harus memiliki kesadaran bahwa dirinya baik di kelas maupun di luar kelas, sedang dicontoh atau ditauladani oleh anak didiknya agar menjadi beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Wallahu a’lam. Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI ( Staf pengajar MAN 1 Kendari Pengasuh acara SINAR RRI Kendari )

Baca Selengkapnya ....
Ricky Pratama's Blog support EvaFashionStore.Com - Original design by Bamz | Copyright of MAN 1 KENDARI.